Surat Kabar Indonesia,
Masalah dari Sudut Content
(Pandangan dari Makassar)
Oleh:
Dahlan
Pemimpin Redaksi Tribun Timur, Makassar
(Untuk bahan Focus Discussion Group dengan tema Adakah Grand Design Masa Depan Pers Indonesia oleh Serikat Penerbit Pers di Hotel Clarion, Makassar, 7 April 2008)
CONTENT terdiri atas berita, foto, maupun grafis. Itulah mata dagangan utama surat kabar. Bagaimana relasinya dengan tujuan surat kabar mencari laba dan kepercayaan klasik wartawan tentang idealisme? Bagaimana menempatkannya dalam dunia yang terus berubah?
Surat Kabar, Bisnis, dan Idealisme
Surat kabar telah menjadi lembaga bisnis. Karena itu, cara mengelola, organisasinya, maupun kulturnya pun berwatak bisnis. Tujuan akhirnya mencetak laba.
Dengan demikian, idealisme wartawan maupun lembaga tempat wartawan bekerja bukan tujuan akhir. Idealisme adalah alat bisnis untuk mencetak laba.
Wartawan adalah karyawan. Mereka bekerja, masuk kantor, berproduksi, dan akhirnya, menerima gaji.
Wartawan memproduksi berita, memproduksi rangkaian kata-kata. Berita mengisi kolom-kolom surat kabar, dicetak, dibaca konsumen. Makin banyak konsumen surat kabar, makin bertumbuhlah sayap bisnis lain dari surat kabar, yakni iklan.
Demikianlah, surat kabar menjual koran dan menjual ruangan (space) untuk iklan.
Kata-kata dikemas dalam lembaran-lembaran kertas koran. Butuh tinta, butuh mesin cetak. Listrik perlu untuk menggerakkan mesin, menerangi kantor, dan menjalankan alat-alat produksi lainnya. Butuh karyawan untuk mengelola produksi dan pemasaran.
Maka, bila kata-kata yang diproduksi surat kabar sudah bagus, tapi tanpa kemampuan membeli kertas, tanpa kemampuan membayar biaya produksi, tanpa kemampuan mendistribusikan, tanpa kemampuan memasarkan, kata-kata itu tidak akan sampai ke konsumen.
Bila kata-kata tidak sampai ke konsumen, tidak ada konsumen, tidak ada pula iklan. Tanpa koran, tanpa konsumen, tanpa iklan, tidak ada surat kabar.
Dengan demikian, kata-kata saja tidak cukup. Harus ada yang memproduksi dan memasarkan kata-kata. Harus ada konsumen yang mau membeli –atau setidak-tidaknya mau membaca. Harus ada yang membeli ruang untuk iklan.
Jelas sekali bahwa bisnis surat kabar tidak hanya berkaitan dengan kemampuan memproduksi kata-kata, tapi juga kemampuan memasarkan koran dan ruang iklan.
Lalu muncul pertanyaan, pada bangunan lembaga pers seperti itu, di mana letak idealisme wartawan? Di mana posisi idealisme surat kabar?
Pertanyaan itu sangat mendasar. Mendasar karena, sejarah surat kabar adalah sejarah idealisme, sejarah pengabdian pada masyarakat, bukan cuma sejarah mencari laba. Koran tanpa idealisme bukanlah koran tapi brosur. Wartawan tanpa idealisme bukanlah wartawan tapi kuli.
Berutunglah, setidaknya sampai hari ini, konsumen kita masih membutuhkan berita yang memiliki kredibilitas. Berita yang bermutu. Berita yang tidak partisan. Berita yang di dalamnya sangat lekat aroma idealisme. Berita yang arahnya untuk mengabdi pada masyarakat.
Ada memang beberapa koran yang sukses dengan mengabaikan semua itu: pragmatis, bahkan menghalalkan segala cara untuk mencetak laba. Saya rasa, banyak juga preman yang kaya raya. Tapi surat kabar tidak di jalur untuk mencetak kekayaan dengan cara itu. Lagi pula, saya percaya, cara preman dan pragmatisme hanyalah jawaban jangka pendek, bukan solusi jangka panjang.
Koran-koran besar yang sukses hari ini adalah koran yang dibangun dengan semangat idealisme untuk menghasilkan berita yang kredibel, bermutu, dan nonpartisan.
Tidak di Jakarta, tidak di Makassar. Di manapun, konsumen masih membutuhkan berita yang memiliki kredibilitas, idenpenden, dan nonpartisan.
Memproduksi berita seperti itu membutuhkan persyaratan tertentu pada wartawan dan pengelola koran. Salah satunya, secara moral, wartawan dan pengelola koran yang memproduksi kata-kata haruslah terbebas dari pamrih karena uang atau materi dan pihak-pihak yang terkait dengan berita.
Cukup? Rasanya tidak. Ada wartawan yang tidak menerima uang, tapi punya kepentingan politik. Beritanya pun tetap saja beraroma partisan, tidak kredibel, tidak independen –atau setidak-tidaknya dianggap demikian.
Karena itu, wartawan secara politik harus netral. Dia bukan aktivis apalagi pengurus partai politik. Dia bukan anggota tim sukses politisi. Dia tidak terkait dengan aktivitas politik.
Bila dua soal itu bisa diatasi, ada harapan bahwa koran bisa tumbuh dan sukses secara bisnis. Tapi, dalam banyak kasus, itu saja tidak cukup. Wartawan dan pengelola surat kabar masih menghadapi satu soal lagi: bagaimana secara terus menerus meningkatkan kualitas personal dan lembaga agar kata-kata yang dihasilkan senantiasa memenuhi –atau lebih bagus lagi melampaui— kebutuhan konsumen. Dengan semua itulah, surat kabar tetap eksis.
Pada akhirnya, kapapun, wartawan dan pengelola surat kabar akan senantiasa ditantang menemukan formula yang pas untuk mengelola interaksi dinamis antara misi mencetak laba, idealisme, dan kebutuhan konsumen.
Faktor Global dan Domestik
Amerika Serikat menyerang Irak, Maret 2003. Lima tahun sudah. Akhir-akhir ini, harga minyak melampaui 100 dolar AS per barel, belum pernah terjadi sepanjang sejarah planet ini.
Apa salah surat kabar? Tidak ada. Cuma, akibat perang itu, langsung atau tidak langsung, harga kertas terus melambung. Bulan ini, semua perusahaan koran di Tanah Air harus menghitung ulang rencana bisnis. Maklumlah, kertas merupakan salah satu komponen terbesar untuk mencetak kata-kata.
Konsumen juga tidak salah, tapi mereka juga kena imbasnya. Jumlah kata yang bisa dibaca akan berkurang, barangkali, bersaing dengan iklan. Atau mungkin terpaksa mengeluarkan uang belanja tambahan bila pada akhirnya harga koran naik.
Demikianlah, bisnis surat kabar tidak bisa menghindar dari arus pengaruh global. Pengaruh eksternal itu sama pentingnya, atau bahkan kadang-kadang jauh lebih penting dari persoalan internal koran dan keterampilan menghasilkan karya jurnalistik yang memenuhi kebutuhan konsumen.
Di bidang IT, teknologi tidak saja semakin maju tapi siklus hidupnya semakin cepat. Teknologi baru bermunculan dalam tempo singkat. Reporter dituntut memahami teknologi, minimal memahami cara memakainya. Sementara, perusahaan terdesak untuk mengalokasikan dana agar terus menerus memperbarui alat-alat produksi.
Di dalam negeri, surat kabar menghadapi dunia persaingan yang semakin ketat. Kecenderungan sinergi multimedia (surat kabar, TV, radio, dan portal berita) makin kuat. Pengelola koran, yang tadinya hanya bisa melakukan wawancara dan menulis berita, dituntut –dalam tempo singkat-- untuk memahami teknologi TV, juga internet.
Ada kecenderungan juga bahwa perusahaan surat kabar masuk ke lantai bursa. Cara-cara pemasaran surat kabar zaman dulu, dengan demikian, terasa sudah mulai terlihat lucu oleh pengelola surat kabar yang memburu citra produk yang positif untuk menaikkan harga saham, tidak lagi semata-mata mengandalkan sumber dana tradisional dengan menjual koran dan ruang iklan.
Kita juga melihat munculnya generasi baru yang apolitik. Mereka lahir dan besar di dunia yang berbasis IT dan gaya hidup kota. Kebutuhan mereka akan kata-kata (berita) dan cara menyajikannya juga berubah.
Generasi baru itu tidak melulu mengandalkan surat kabar sebagai satu-satunya sumber informasi. Pilihan mereka banyak, mulai dari radio, TV, hingga internet. Itu pun dengan bauran yang tidak pernah ada sebelumnya: internet di handphone, TV di handphone, radio di handphone.
Menyusul, internet di TV, monitor TV di kulkas, dan seterusnya. Dunia berubah cepat, dan seharusnyalah, jika tidak ingin punah, surat kabar juga harus berubah.
Content di Dunia yang Berubah
Saya rasa, berita tidak berubah. Dia tetap berkaitan dengan hal-hal yang menarik dan penting bagi konsumen (pembaca). Yang berubah adalah apa yang dianggap “menarik” dan apa yang dianggap “penting” oleh pembaca, bukan “menarik” dan “penting” menurut wartawan dan pengelola koran.
Apa yang menarik dan penting 20 tahun lalu belum tentu masih berita penting dan menarik hari ini. Masyarakat berubah, kebutuhannya juga berubah.
Bahkan, lebih jauh dari itu, bukan cuma kebutuhannya yang berubah melainkan juga cara memenuhi kebutuhannya.
Pembaca sekarang tetap suka makan ayam goreng, sama seperti dulu. Yang berubah adalah makan ayam goreng dengan cara apa (model lalapan atau cepat saji), dikonsumsi di rumah atau sambil ngobrol di café.
Tugas kita pengelola koran pertama-tama adalah merumuskan kebutuhan pasar yang berubah.
Tugas kedua, setelah merumuskan kebutuhan pasar yang berubah, merumuskan bagaimana cara memenuhi kebutuhan pasar yang berubah tersebut.
Pada akhirnya, sukses pengelola redaksi sangat tergantung pada dua faktor itu: merumuskan kebutuhan konsumen dan merumuskan bagaimana cara memenuhinya (dari sisi content maupun desain halaman).
Di bisnis, faktor sukses tergantung pada kemampuan memasarkan koran maupun iklan. Tentu jangan dilupakan faktor eksternal seperti perubahan di lingkungan global maupun domestik.***
No comments:
Post a Comment