TI dan Demokrasi
Dahlan,
Redaktur Pelaksana
Tribun Timur
Perang, bencana alam, dan teknologi adalah beberapa instrumen yang --dengan kekuatannya yang dahsyat-- mampu mengubah sejarah.
Akibat perang dan bencana alam serta dampak dari penemuan teknologi mengubah banyak hal, termasuk cara pandang terhadap kehidupan dan tingkah laku manusia.
Teknologi, terutama information technology atau teknologi informasi (TI), kini bukan lagi barang yang hanya dimengerti oleh kalangan insinyur, tapi juga --terutama dalam hal penggunaannya, bukan membuatnya-- dipahami juga oleh masyarakat umum.
Internet dan handphone, contohnya. Tanpa perlu tahu bagaimana data bisa terkoneksi dari satu terminal ke terminal lainnya, sebagian besar dari kita tahu bagaimana mengoperasikan internet.
Demikian pula dengan handphone. Tidak perlu mengerti apa itu GSM atau CDMA, kita toh bisa melakukan panggilan, menerima panggilan, mengirim dan menerima gambar, atau yang lebih sederhana, menerima dan mengirim SMS.
Itulah barangkali yang menjelaskan, mengapa, sejak sistemnya ditemukan, internet dan mobile communication dengan teknologi handphone dengan cepat mendapat "pengikut" di seluruh dunia, tidak peduli paham politik, ideologi, suku, ras, ataupun agama.
Sebuah perkiraan menyebutkan, tahun 2005 ini, pengguna handphone di Indonesia akan mencapai 22 juta orang --hanya terpaut sekitar dua juta orang dibanding perolehan suara partai pemenang pemilu, Golkar, pada pemilu legislatif tahun 2004.
Di seluruh dunia, terdapat sekitar 366 juta pengguna telepon selular.
Adapun pengguna internet mencapai 740 juta (Internet‑World‑Stats, 2004). Di Indonesia, angkanya berkisar satu sampai dua jutaan, sebagian besar melalui warung internet (warnet).
Demokrasi
Ketika gagasan tentang demokrasi ditemukan, belum ada internet dan handphone. Demokrasi ketika itu bersandarkan pada fungsi lembaga-lembaga tradisional seperti
Demokrasi saat ini juga akan tetap bersandar pada lembaga-lembaga tradisional tersebut, ditambah munculnya pemain-pemain baru seperti media
Peran televisi berita sebagai media baru pembentuk opini publik juga tidak bisa diabaikan perannya dalam masyarakat politik yang baru, masyarakat berbasis TI.
Internet
Sebagai media
Teknologi ini juga berkembang di televisi dalam bentuk breaking news (dengan atau tanpa gambar) atau dalam bentuk running text.
Beberapa situs
Teknologi tersebut memungkinkan perubahan berlangsung cepat. Dengan
Kabar merupakan salah satu energi dalam siklus sistem politik. Dengan kabar, masyarakat bersikap, setuju atau menolak suatu ide atau program. Sikap melahirkan aksi.
Internet menawarkan informasi saat ini juga, real time. Dengan membuka cnn.com, misalnya, seluruh kejadian di kolong langit ini dapat diketahui dengan cepat.
Teknologi internet juga menawarkan berbagai media penyebaran informasi. Dalam bentuk yang real time, ada juga fasilitas chatting. Fasilitas ini memungkinkan kita berdiskusi tentang apa saja, sejak dari soal cinta hingga bagaimana cara menumbangkan suatu rezim yang menindas dan korup.
Yang terbaru, internet mendorong terciptanya apa yang disebut sebagai citizen reporter. Dengan konsep yang kini berkembang di banyak negara maju, di Amerika Serikat misalnya, seseorang tidak perlu menjadi wartawan untuk bisa menjadi reporter. Yang penting Anda punya informasi (berita ataupun gambar) dan fasilitas internet, posting-lah informasi Anda ke situs yang tersedia.
Di AS sendiri masih ada perdebatan tentang kuantitas maupun kualitas berita yang dihasilkan citizen reporter. Namun, bagaimanapun, sebagai penggerak demokrasi, konsep baru ini diperkirakan akan cukup membantu.
Dengan citizen reporter, warga tidak perlu mencari wartawan untuk mempublikasikan apa yang menurut mereka sebagai "berita".
Yang paling penting, citizen reporter memungkinkan lahirnya suatu berita dari sudut pandang warga, bukan sudut pandang wartawan.
Dalam bentuknya yang sederhana, citizen reporter terlihat pada rubrik “komentar SMS” atau “public services” di media
Melalui kedua rubrik itu, warga tidak hanya “melaporkan” masalah-masalah yang berkaiatan dengan pelayanan public (public services), tapi juga pendapat atau sikap mereka terhadap suatu ide atau peristiwa.
Handphone
Lewat short message service (SMS), kementerian informasi dan komunikasi mengkampanyekan bahwa kenaikan harga BBM tidak membebani rakyat.
SMS itu dalam waktu cepat menjangkau jutaan pengguna handphone GSM.
Karena sifatnya yang massal dan mencapai target audience-nya dengan seketika, SMS menjalankan sebagian fungsi media massa "resmi" sebagai penyebar informasi, dan karena itu pula, sebagai pembentuk opini publik.
Berita-berita media
Teknologi itu mengubah cara-cara tradisional mengirim berita yang sebelumnya dikenal, seperti dengan menggunakan fasilitas kantor pos, faximili, modem, dan terakhir, email.
Teknologi handphone makin canggih dengan hadirnya fasilitas kamera digital, untuk foto maupun film.
Dalam kasus bom Bali II, citizen reporter dipraktekkan dalam bentuk pengiriman gambar dari warga ke kantor stasiun televisi berita.
Gambar-gambar menjelang, pada saat, dan setelah kejadian (kepanikan, kerusakan, dan korban yang berdarah-darah) menambah efek emosional, suatu sarana yang memungkinkan terciptanya pencitraan (public image) yang cepat dan kuat.
Opini publik yang kemudian tercipta (kemarahan pada pelaku bom, misalnya) mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian ekstra untuk menangani kasus tersebut.
Itulah memang intisari demokrasi. Bagaimana rakyat bisa bersuara dengan berbagai saluran yang tersedia, dan di pihak lain, bagaimana pemerintah bertindak dengan memperhatikan suara rakyat.
Teknologi informasi, dengan demikian, memegang peranan kunci. Dalam kadar tertentu, ia sama strategisnya dengan lembaga-lembaga demokrasi tradisional seperti partai politik dan parlemen.
* Disajikan pada diskusi "Refleksi Peran YLBHI/LBH
No comments:
Post a Comment