Ask the Tribun Timur Editor
Sumber: Tribun Timur, Makassar
Jumat, 05-09-2008
20 Tahun untuk Jaksa Urip
Kasus Suap Rp 6 M Perkara BLBI ; Hakim: Tidak Ada yang Bisa Meringankan; Juga Harus Bayar Denda Rp 500 Juta; Hakim Juga Sebut Mantan Jampidsus dan Jaksa Salim Terlibat; Kejaksaan Agung Awasi 11 Jaksa
Jakarta, Tribun - Majelis hakim menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada terdakwa jaksa Urip Tri Gunawan dalam sidang kasus dugaan suap kasus Bantuan Likuiditias Bank Indonesia (BLBI) di Pengdilan Tidan Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (4/9).
Vonis tersebut tertuang dalam putusan No 11/IB/TPK/2008/Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain dihukum penjaram, Urip juga didenda Rp 500 juta subsider satu tahun kurungan.Hukuman tersebut lebih berat dari tuntutan jaksa yakni hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
"Pebuatan terdakwa Urip telah melukai hati masyarakat Indonesia yang sedang terlilit berbagai masalah. Hal-hal yang meringankan tidak ada," jelas Ketua Majelis Hakim Teguh Haryanto saat membacakan putusan.
Menanggapi vonis tersebut, Urip dan penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir. Saat meninggalkan ruang sidang menuju ke mobil tahanan, terdakwa lebih banyak diam.
Sedangkan aktivis antikorupsi menilai vonis tersebut masih terbilang ringan. Dua lembaga, Indonesia Corruption Watch dan Anto Corruption Committee (ACC) Sulawesi, menilai Urip layak diberikan hukuman yang lebih berat. "Seharusnya Urip divonis seumur hidup karena selama persidangan dia sama sekali tidak kooperatif," kata Koordinator ICW Danang Widoyoko di Jakarta.
Terbukti
Urip dinilai terbukti menerima suap 600 ribu dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar dari pengusaha Artalyta Suryani yang disebut-sebut sebagai perantara kasus BLBI yang menyeret nama pengusaha Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI. Artalyta yang sudah lebih dulu divonis lima tahun penjara dalam kasus yang sama.
Urip dan Artalyta ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kediaman Artalyta di Jl Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Maret lalu, dengan barang bukti uang 600 ribu dolar AS.
Mantan Ketua Tim Penyidik BLBI II Kejaksaan Agung ini pun dijerat pasal 12 B dan E serta pasal 26 A UU 31 tahun 1999 yang diganti dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam persidangan, banyak skandal yang terungkap dalam kasus ini. Termasuk rekaman sadapan telepon genggam antara Urip dengan Artalyta di sel tahanan. Terdengar jelas dari rekaman itu Artalyta berusaha mengatur skenario kesaksian Urip.
Menurut majelis hakim, sikap Urip yang mempertontonkan apriori dan arogansinya sebagai penegak hukum di depan publik menjadi salah satu hal yang memberatkan hukumannya.
Menurut hakim, sikap ini dapat tidak menimbulkan efek jera kepada masyarakat. Selain itu, Urip dianggap telah merusak citra penegak hukum, khususnya kejaksaan agung.
"Dia (terdakwa) telah melakukan tindak diskriminasi penegakan hukum dalam penyelidikan kasus BLBI II-BDNI," tambah Teguh.
Jaksa dari Klungkung Bali itu juga tidak pernah mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan berbelit-belit selama persidangan.
Terbesar
Vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Urip adalah vonis terbesar bagi terdakawa kasus yang ditangani KPK. Sejak berdiri pada tahun 2004, baru pertama kali pengadilan tipikor menjatuhkan vonis 20 tahun penjara.
Hukuman Urip juga menyamai koruptor pembobol Bank BNI yakni Dicky Iskandardinata yang juga divonis 20 tahun penjara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang kemudian diperkuat Mahkamah Agung (MA).
Vonis ini tercatat sebagai vonis terberat dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hakim menyatakan, Urip terbukti menerima suap dari Artalyta karena telah memberikan perlindungan kepentingan pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Urip adalah ketua tim penyelidikan BLBI II (BDNI).
Perlindungan yang diberikan Urip, yakni dengan sengaja tidak menghadirkan Sjamsul Nursalim untuk diperiksa Kejagung. Kejagung melayangkan surat panggilan untuk Sjamsul Nursalim sebanyak tiga kali.
Justru, sebagai ketua tim penyelidik BDNI, Urip bekerja sama dengan Artalyta untuk melindungi Sjamsul supaya tidak hadir di kejagung.
Dalam percakapan telepon dengan Artalyta, Urip justru menyarankan Artalyta agar pengacara Sjamsul Nursalim berkirim surat ke Kejagung dengan alasan Sjamsul Nursalim sakit dan sedang di rawat di luar negeri.
"Dari pembicaraan antara terdakwa dengan Artalyta, maka pemanggilan Sjamsul Nursalim tidak lebih pada rekayasa agar terdakwa menerima sesuatu dari Artalyta," tegas hakim Edawrd.
Hakim juga menyatakan, Urip telah melakukan kerja sama dengan auditor BPK yang bernama Adi untuk menyatakan agar kekurangan pembayaran Rp 4,758 triliun tersebut diarahkan ke perdata, bukan pidana.
"Seharusnya sebagai penyelidik, terdakwa berusaha semaksimal mungkin melakukan penyelidikan, bukan malah mengarahkan ke arah perdata," lanjut hakim Ahmad Linoh.
Kepada Adi, Urip juga meminta agar membantu meluruskan pemikiran teman-temannya sesama penyelidik BLBI agar mengarahkan kasus ini adalah perdata.
Kemas-Salim
Hakim juga menyatakan,Urip bersama Jampidsus Kemas Yahya Rahman dan Direktur Penyidikan pada Jampidsus M Salim menyusun hasil penyelidikan BLBI untuk disampaikan kepada wartawan pada 29 Februari lau dengan tidak menyebutkan kekurangan pembayaran BDNI ke negara sebesar Rp 4,578 triliun.
"Majelis hakim berkeyakinan, tujuan lebih jauh tidak diumumkan kekurangan pembayaran Rp 4,758 triliun adalah untuk melindungi kepentingan Sjamsul Nursalim dan di sisi lain untuk kepentingan terdakwa untuk menerima hadiah dari sebesar 660.000 dolar AS dari Artalyta Suryani," tegas hakim Andi Bachtiar.
Sikap Kejaksaan
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung BD Nainggolan, mengatakan, pihaknya mengaku pasrah dengan putusan majelis hakim terhadap Urip.
"Vonis itu mungkin menurut hakim adalah hukuman yang tepat terhadap kasus itu. Adakalanya hakim menjatuhkan hukuman lebih tinggi dari tuntutan jaksa," katanya.
Nainggolan mengatakan, sejak awal, kejagung telah menyerahkan kasus ini kepada pengadilan sepenuhnya. "Kejagung tidak ikut campur dalam kasus pengadilan," tandasnya.
Meski sudah divonis, kejagung belum memberhentikan Urip sebagai jaksa. Alasannya, belum ada keputusan hukum tetap atau inkrah dalam kasus ini.
Bawa Buku
Saat duduk di kursi terdakwa, terdakwa Urip membawa buku agenda berwarna hijau. Tangannya dengan cepat menuliskan setiap pertimbangan majelis hakim.
Setiap kata dan kalimat yang menurutnya penting, tak lepas dari guratan tinta bulpen warna perak miliknya.
Sesekali mata Urip menyapu tajam kelima hakim yang secara bergantian membacakan vonis untuknya.
Guratan bulpen Urip berhenti total ketika hakim menyatakan jaksa yang telah mengabdi selama 17 tahun ini terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani dan memeras mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn MS Yusuf sebesar Rp 1 miliar.
Buku agenda ditutupnya rapat-rapat. Bulpen warna silver, lalu ia selipkan di kantong baju safari warna hitam. Kedua jemari tangannya lalu dia katupkan rapat-rapat di atas pangkuannya.
Sorot mata Urip terlihat kian tegang. Sesekali kepalanya bergeleng-geleng ketika mendengar hakim menyatakan tidak ada satu hal pun yang meringankan hukuman dirinya.
Namun emosi Urip tetap terkontrol. Begitu ditanya hakim atas vonis tersebut, dengan suara lantang Urip mengatakan mengerti.
Begitu pula saat ditanya tanggapan atas vonis tersebut dengan cekatan pula Urip mengatakan akan memenuhi ketentuan waktu yang telah ditetapkan pengadilan atau menyatakan pikir-pikir.
Usai palu diketukkan sebagai petanda persidangan berakhir, dengan muka tegang Urip menghampiri tim kuasa hukumnya. Ia seperti tak percaya kalau hakim mengganjarnya lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntutnya 15 tahun penjara, membayar denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.
Tak ada luapan emosi atau air mata dari jaksa kelahiran Klaten, 6 Januari 1957 ini. Mulutnya tetap membisu seribu bahasa menghadapi cecaran puluhan wartawan yang mengerubunginya. Matanya hanya menatap lurus ke depan sambil berjalan.
Tiba di ruang tunggu terdakwa, Urip langsung mengempaskan tubuhnya diatas kursi. Tak terlihat adanya kegeraman atau kemarahan yang dilampiaskan Sebagai gantinya, buku agenda warna hijau ia buka kembali.
Dengan terampil, jari jemarinya menari-nari diatas buku agenda untuk mencatatkan sesuatu yang tidak pasti diketahui isinya.
Hampir dua lembar, Urip menorehkan perasaannya atau pikirannya di dalam buku yang setia menemaninya selama pembacaan vonis.
Istri maupun anak-anak Urip tidak hadir mendampingi. Begitu juga keluarga besar atau kerabatnya. Hanya satu orang jaksa yang berpakaian safari mendatangi dan memeluk Urip.
11 Jaksa
Dari Semarang, Jawa Tengah, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, dDari 35 jaksa BLBI, 11 orang di antaranya diduga bersekokongkol dengan Urip. Para jaksa tersebut sementara dalam pengawasa jaksa agung muda bidang pengawasan (jamwas).
"Kita masih periksa. Belum ada bukti-bukti pendukung soal keterlibatan mereka," kata Hendarman usai berceramah dan diskusi di Gedung Pascasarjana Undip Semarang.
Hendarman telah meminta jamwas mengawasi ke-11 jaksa tersebut. Berdasarkan informasi yang diterimanya, mereka membantu Urip dalam pembuatan legal opinion BLBI. Mengenai suap, Urip melakukannya sendiri.
Hendarman mengaku tidak hapal nama ke-11 jaksa tersebut. "Mereka ya dari 35 jaksa BLBI itu," ujarnya.
No comments:
Post a Comment