Ask the Tribun Timur Editor
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Hati Sumber Energi
Akhirnya saya tahu, hati adalah sumber energi. Sesungguhnya, dalam hati yang segar, jernih, dan bening, tidak ada raga yang letih. Hati, jiwa kita, adalah Tuan atas tubuh.
SECARA logika, raga ini mesti letih luar biasa. Satu atau dua jam tidur dalam 24 jam, dalam kondisi puasa dan kegiatan fisik yang menguras energi, ternyata malah membuat fisik makin segar. Bagaimana bisa?
Adzan Magrib berkumandang pukul 18.49 di Masjidil Haram, Mekkah, 22 Agustus. Kami buka puasa dengan minum air zamzam yang segar dan makan buah kurma yang manis. Masjid yang luas dan tiga lantai itu penuh. Halaman di seluruh sisinya juga dijejali orang-orang yang salat, berdoa, dan memohon.
Juga hiruk pikuk oleh orang-orang yang riang gembira berbuka puasa. Wajah-wajah mereka memancarkan cahaya. Sejak satu jam sebelum Magrib, orang-orang, dengan baju gamis dan kopiah putih, berjalan tergesa-gesa mencari tempat duduk yang paling dekat atau paling bagus di kiri, kanan, muka, atau belakang Kakbah.
Toko-toko tutup. Aktivitas duniawi berhenti seketika, serentak, seperti ada komando tak kelihatan dan tak terdengar dari otoritas yang maha besar. Orang tua, anak-anak, ibu-ibu, gadis-gadis, semuanya. Semua tumpah ke Masjidil Haram dengan perasaan girang. Keceriaan terpancar dari wajah mereka.
Saya tidak pernah melihat orang-orang, dalam jumlah yang begitu besar, bergairah menuju masjid. Persis suasana Idul Fitri di Indonesia. Demikianlah, setiap salat lima waktu.
Salat Magrib dimulai dan imam membacakan doa-doa pendek. Maksudnya agar jamaah segera buka puasa dengan makanan berat. Kami bergegas ke hotel, seperti biasa, untuk buka dengan menu Indonesia: ikan goreng atau bakar, ayam kuah ala Padang, dan sop jagung. Sop kikil ada juga. Kurma Arab ada, tapi madu Australia pun tersedia. Nasinya dari beras Thailand. Halus dan lezat.
Makan malam tidak boleh berlama-lama, karena satu jam sebelum Isya, atau satu jam sebelum pukul 20.19, kami sudah harus berada di masjid. Terbayang di depan mata salat Isya empat rakaat yang langsung dilanjutkan dengan salat Tarwih 20 rakaat ditambah witir tiga rakaat. Total 27 rakaat dan tempo sekitar tiga jam.
Saat Tarwih itulah imam membacakan doa-doa panjang. Kadang saya tertidur dalam salat yang panjang itu, dengan nyanyian doa seperti lagu yang membangunkan syaraf-syaraf ngantuk.
Indah sekali alunan doa khas Masjidil Haram. Suara imamnya melengking, menghasilkan alunan yang indah. Bila pada akhirnya saya merindukan Mekkah, Kakbah, dan Masjidil Haram, saya pasti merindukan suara indah sang imam. Pengeras suara ada di mana-mana membuat masjid itu seperti lokasi konser raksasa yang bisa menghibur jiwa 700 ribu jamaah.
Tiga jam berlalu. Salat Isya dan Tarwih usai sudah. Jam menunjukkan pukul 23.30 jelang tengah malam. Bayangkanlah: duduk, berdiri, sujud, dan rukuk tiga jam dengan masa jeda salat jenazah. Letih benar mestinya, tapi salat yang khusuk menguatkan jiwa. Dan karena jiwa adalah sumber energi tanpa batas, letih lenyap berganti gairah.
***
BELUM sempat istirahat, kami kumpul di bus, dalam pakaian ihram. Rencananya kami akan melaksanakan umroh Ramadan. Ini jenis umroh yang menggairahkan. Nabi berkata, siapa yang umroh di bulan Ramadan maka pahalanya seperti orang naik haji dan seperti umroh bersama nabi.
Dahsyat benar. Pahalanya seperti berhaji plus bonus umroh bersama nabi.
Bus bergerak ke Bier Ali, luar kota Mekkah, untuk migot (niat umroh). Begitulah aturannya. Niat umroh harus diucapkan di luar Kota Mekkah. Sudah tengah malam tapi Mekkah justru sedang sibuk-sibuknya. Kota ini seperti tidur di siang hari dan begadang di malam hari.
Kami harus bergegas untuk kembali ke Masjidil Haram, menuntaskan tiga rukun umroh berikutnya: tawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali dan sai yakni berjalan diselingi berlari kecil (untuk laki-laki) dari Bukit Syafa ke Bukti Marwah tujuh kali. Rukun terakhir, potong rambut (tahalul).
Tiba di Masjidil Haram sekitar pukul 01.00 dini hari dan Kakbah dipenuhi puluhan ribu orang yang melaksanakan tawaf. Masjid itu tidak tidur, juga orang-orang itu. Mereka berkeliling sambil berdoa dalam berbagai bahasa: Arab, Indonesia, Turki, Pakistan,India ,China ... Terbayang bagaimana hiruk pikuknya.
Sebagian terlihat menangis sambil memegang Kakbah, sebagian menggelar salat, sebagian memanjatkan doa, sebagian lagi berkeliling Kakbah, terus berkeliling, dan setiap kali melewati Hajrat Aswad, mereka mengangkat tangan sambil berteriak Bismillahi Allahu Akbar.
Tawaf ini diselesaikan dalam tempo sekitar satu jam. Fisik benar-benar terkuras. Lakukan salat sunat di Multazam dan minumlah air zamzam.
Waktu menunjukkan pukul 02.30 sementara imsak semakin mendekat. Kami bekejaran dengan waktu, berlari ke bukit Syafa yang terletak di kawasan Masjidil Haram, memulai sai tujuh putaran. Masih satu putaran lagi ketika jam menunjukan pukul 03.30. Kami bergegas karena adzan Subuh akan berkumandang satu jam lagi, mulai 04.39. Itulah dimulainya puasa.
Seusai sai kami menuntaskannya dengan potong rambut. Umroh ramadan usai sudah. Seluruh prosesnya kira-kira 3,5 jam.
Dengan setengah berlari, kami menuju hotel. Keringat bercucuran. Pakaian ihram basah. Kendati dini hari, suhu di Mekkah tetap di atas 30 derajat Celcius, sama dengan Makassar di siang hari. Angin menyemprotkan hawa panas.
Sahur dikebut karena harus bergegas ke Masjidil Haram untuk salat Subuh. Kami juga harus melaksanakan Tawaf Wada atau tawaf perpisahan sebelum menuju Madinah.
Pukul 08.00, artinya, tanpa istirahat, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bus selama lima jam menuju Madinah, melewati hamparan bukit berbatu tanpa sehelai pun daun pohon.
Tawaf Wada juga tujuh putaran. Selesai sekitar pukul 06.00 atau sekitar satu jam. Setelah itu bergegas ke hotel, mandi, mengepak pakaian ke dalam kopor, dan siap-siap menuju Madinah.
Padat sekali kegiatan hari itu. Fisik mestinya letih luar biasa. Tulang-tulang harus terasa mau patah. Ternyata tidak. Hati teduh dan tenang, bersih, dan jernih mengatasi tubuh. Hati yang jernih merupakan sumber energi. Jagalah hati maka engkau menjaga tubuhmu.
Pada orang dewasa, hati yang jernih adalah pencapaian, harus diupayakan, harus dirawat, terus menerus. Bagi bayi, dia adalah given, dari sono-nya.
Tuhan, akhirnya saya tahu, menciptakan alat menjaga hati: salat lima waktu setiap hari dan sebulan penuh melaksanakan puasa. Perkakas itu tidak dijual di toko manapun di dunia ini.
Dalam salat dan puasa, kita berkomunikasi dengan hati, melatihnya terus menerus, memberinya gizi agar tetap sehat, dan merawatnya agar berfungsi maksimal.
Sebagai sumber energi, hati memancarkan cahaya melalui raut wajah. Dalam wajah yang segar tersembunyi hati yang bening.***
Laporan Haji dan Umroh
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Hati Sumber Energi
Akhirnya saya tahu, hati adalah sumber energi. Sesungguhnya, dalam hati yang segar, jernih, dan bening, tidak ada raga yang letih. Hati, jiwa kita, adalah Tuan atas tubuh.
SECARA logika, raga ini mesti letih luar biasa. Satu atau dua jam tidur dalam 24 jam, dalam kondisi puasa dan kegiatan fisik yang menguras energi, ternyata malah membuat fisik makin segar. Bagaimana bisa?
Adzan Magrib berkumandang pukul 18.49 di Masjidil Haram, Mekkah, 22 Agustus. Kami buka puasa dengan minum air zamzam yang segar dan makan buah kurma yang manis. Masjid yang luas dan tiga lantai itu penuh. Halaman di seluruh sisinya juga dijejali orang-orang yang salat, berdoa, dan memohon.
Juga hiruk pikuk oleh orang-orang yang riang gembira berbuka puasa. Wajah-wajah mereka memancarkan cahaya. Sejak satu jam sebelum Magrib, orang-orang, dengan baju gamis dan kopiah putih, berjalan tergesa-gesa mencari tempat duduk yang paling dekat atau paling bagus di kiri, kanan, muka, atau belakang Kakbah.
Toko-toko tutup. Aktivitas duniawi berhenti seketika, serentak, seperti ada komando tak kelihatan dan tak terdengar dari otoritas yang maha besar. Orang tua, anak-anak, ibu-ibu, gadis-gadis, semuanya. Semua tumpah ke Masjidil Haram dengan perasaan girang. Keceriaan terpancar dari wajah mereka.
Saya tidak pernah melihat orang-orang, dalam jumlah yang begitu besar, bergairah menuju masjid. Persis suasana Idul Fitri di Indonesia. Demikianlah, setiap salat lima waktu.
Salat Magrib dimulai dan imam membacakan doa-doa pendek. Maksudnya agar jamaah segera buka puasa dengan makanan berat. Kami bergegas ke hotel, seperti biasa, untuk buka dengan menu Indonesia: ikan goreng atau bakar, ayam kuah ala Padang, dan sop jagung. Sop kikil ada juga. Kurma Arab ada, tapi madu Australia pun tersedia. Nasinya dari beras Thailand. Halus dan lezat.
Makan malam tidak boleh berlama-lama, karena satu jam sebelum Isya, atau satu jam sebelum pukul 20.19, kami sudah harus berada di masjid. Terbayang di depan mata salat Isya empat rakaat yang langsung dilanjutkan dengan salat Tarwih 20 rakaat ditambah witir tiga rakaat. Total 27 rakaat dan tempo sekitar tiga jam.
Saat Tarwih itulah imam membacakan doa-doa panjang. Kadang saya tertidur dalam salat yang panjang itu, dengan nyanyian doa seperti lagu yang membangunkan syaraf-syaraf ngantuk.
Indah sekali alunan doa khas Masjidil Haram. Suara imamnya melengking, menghasilkan alunan yang indah. Bila pada akhirnya saya merindukan Mekkah, Kakbah, dan Masjidil Haram, saya pasti merindukan suara indah sang imam. Pengeras suara ada di mana-mana membuat masjid itu seperti lokasi konser raksasa yang bisa menghibur jiwa 700 ribu jamaah.
Tiga jam berlalu. Salat Isya dan Tarwih usai sudah. Jam menunjukkan pukul 23.30 jelang tengah malam. Bayangkanlah: duduk, berdiri, sujud, dan rukuk tiga jam dengan masa jeda salat jenazah. Letih benar mestinya, tapi salat yang khusuk menguatkan jiwa. Dan karena jiwa adalah sumber energi tanpa batas, letih lenyap berganti gairah.
***
BELUM sempat istirahat, kami kumpul di bus, dalam pakaian ihram. Rencananya kami akan melaksanakan umroh Ramadan. Ini jenis umroh yang menggairahkan. Nabi berkata, siapa yang umroh di bulan Ramadan maka pahalanya seperti orang naik haji dan seperti umroh bersama nabi.
Dahsyat benar. Pahalanya seperti berhaji plus bonus umroh bersama nabi.
Bus bergerak ke Bier Ali, luar kota Mekkah, untuk migot (niat umroh). Begitulah aturannya. Niat umroh harus diucapkan di luar Kota Mekkah. Sudah tengah malam tapi Mekkah justru sedang sibuk-sibuknya. Kota ini seperti tidur di siang hari dan begadang di malam hari.
Kami harus bergegas untuk kembali ke Masjidil Haram, menuntaskan tiga rukun umroh berikutnya: tawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali dan sai yakni berjalan diselingi berlari kecil (untuk laki-laki) dari Bukit Syafa ke Bukti Marwah tujuh kali. Rukun terakhir, potong rambut (tahalul).
Tiba di Masjidil Haram sekitar pukul 01.00 dini hari dan Kakbah dipenuhi puluhan ribu orang yang melaksanakan tawaf. Masjid itu tidak tidur, juga orang-orang itu. Mereka berkeliling sambil berdoa dalam berbagai bahasa: Arab, Indonesia, Turki, Pakistan,India ,China ... Terbayang bagaimana hiruk pikuknya.
Sebagian terlihat menangis sambil memegang Kakbah, sebagian menggelar salat, sebagian memanjatkan doa, sebagian lagi berkeliling Kakbah, terus berkeliling, dan setiap kali melewati Hajrat Aswad, mereka mengangkat tangan sambil berteriak Bismillahi Allahu Akbar.
Tawaf ini diselesaikan dalam tempo sekitar satu jam. Fisik benar-benar terkuras. Lakukan salat sunat di Multazam dan minumlah air zamzam.
Waktu menunjukkan pukul 02.30 sementara imsak semakin mendekat. Kami bekejaran dengan waktu, berlari ke bukit Syafa yang terletak di kawasan Masjidil Haram, memulai sai tujuh putaran. Masih satu putaran lagi ketika jam menunjukan pukul 03.30. Kami bergegas karena adzan Subuh akan berkumandang satu jam lagi, mulai 04.39. Itulah dimulainya puasa.
Seusai sai kami menuntaskannya dengan potong rambut. Umroh ramadan usai sudah. Seluruh prosesnya kira-kira 3,5 jam.
Dengan setengah berlari, kami menuju hotel. Keringat bercucuran. Pakaian ihram basah. Kendati dini hari, suhu di Mekkah tetap di atas 30 derajat Celcius, sama dengan Makassar di siang hari. Angin menyemprotkan hawa panas.
Sahur dikebut karena harus bergegas ke Masjidil Haram untuk salat Subuh. Kami juga harus melaksanakan Tawaf Wada atau tawaf perpisahan sebelum menuju Madinah.
Pukul 08.00, artinya, tanpa istirahat, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bus selama lima jam menuju Madinah, melewati hamparan bukit berbatu tanpa sehelai pun daun pohon.
Tawaf Wada juga tujuh putaran. Selesai sekitar pukul 06.00 atau sekitar satu jam. Setelah itu bergegas ke hotel, mandi, mengepak pakaian ke dalam kopor, dan siap-siap menuju Madinah.
Padat sekali kegiatan hari itu. Fisik mestinya letih luar biasa. Tulang-tulang harus terasa mau patah. Ternyata tidak. Hati teduh dan tenang, bersih, dan jernih mengatasi tubuh. Hati yang jernih merupakan sumber energi. Jagalah hati maka engkau menjaga tubuhmu.
Pada orang dewasa, hati yang jernih adalah pencapaian, harus diupayakan, harus dirawat, terus menerus. Bagi bayi, dia adalah given, dari sono-nya.
Tuhan, akhirnya saya tahu, menciptakan alat menjaga hati: salat lima waktu setiap hari dan sebulan penuh melaksanakan puasa. Perkakas itu tidak dijual di toko manapun di dunia ini.
Dalam salat dan puasa, kita berkomunikasi dengan hati, melatihnya terus menerus, memberinya gizi agar tetap sehat, dan merawatnya agar berfungsi maksimal.
Sebagai sumber energi, hati memancarkan cahaya melalui raut wajah. Dalam wajah yang segar tersembunyi hati yang bening.***
Laporan Haji dan Umroh
No comments:
Post a Comment