dahlandahi.com
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Tuesday, 25-08-2009
Terseret Arus ke Makam Nabi
USAI tarwih, Minggu (23/8) malam, Wapres Jusuf Kalla dan Ny Mufida, didampingi Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud dan Ny Ramlah serta beberapaanggota rombongan berziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW di dalam Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Imam Masjid Nabawi khusus mendampingi Kalla dan sekitar 50 anggota rombongan. Kalla diperlakukan secara khusus, ditempatkan di sebelah kiri makam nabi. Mereka salat Isya di sana, dilanjutkan Tarwih dan Witir 23 rakaat.
Kalla, yang sudah berusi 67 tahun, sanggup melaksanakan salat maraton sekitar 2,5 jam itu. "Ha, ha, ha. Alhamdulillah, masih kuat," kata Kalla kepada Tribun usai sahur di Madinah Hilton, Minggu (24/8). Ini hari kedua di Madinah, setelah sejak 20 Agustus lalu di Mekah. Rencana, Selasa (25/8) jelang tengah malam atau subuh (26/8) waktu Makassar, Kalla dan rombongan kembali ke Jakarta.
Wali Kota Ilham Arief Sirajuddin dan Nyonya Aliah mengikuti rombongan ini. Usai salat, Imam Masjid Nabawi membimbing Kalla dan rombongan ke Raodah untuk melaksanakan salat sunat dua rakaat. Di kompleks Masjid Nabawi, dulu ada rumah Nabi Muhammad SAW.
Di sebelah rumah ini ada mimbar (tempat nabi selalu berkhotbah kepada umatnya). Di sebelah rumah itu, nabi dimakamkan. Ruang antara mimbar dan makam nabi itulah yang disebut Raodah.
Banyak umat berebutan doa di sini karena diyakini akan diterima Allah, sama dengan berdoa di Multazam Kakbah (ruang atau wilayah di sekitar pintu kabar hingga Hajar Aswad).
Masjid Nabawi sangat luas. Ruangan salatnya lebih luas Lapangan Karebosi di Makassar (tapi saya heran mengapa masjid, sama juga dengan Masjidil Haram) selalu penuh.
Onamen-ornamen serta pahatnya luar biasa indah. Lampu-lampunya sangat banyak, bergelantungan di plafon tinggi. Ini merupakan masjid yang disucikan umat Islam selain Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsa di Palestina.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, berkunjung ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sangat gampang. Saudi seperti saudara kita, senang sekali membantu mengeluarkan visa umrah maupun haji.Tambahan pula, setiap kali berkunjung ke kedua masjid itu selalu kita bertemu orang Indonesia atau orang Arab, Palestina, Pakistan, Turki, maupun Bangladesh yang mengerti bahasa Indonesia.
Subhanallah, seperti berada di bangsa sendiri, katakanlah di Al Markaz, tempat umat dari berbagai penjuru tertarik beribadah atau bahkan beribadah dengan penuh gairah. Berkunjung ke Masjidil Aqsa lebih sulit karena visa (izin masuk) dikontrol langsung pemerintah pendudukan, Israel.
Negara zionis ini memutuskan siapa yang boleh atau melarang orang berkunjung ke Palestina.
Sungguh ironis bahwa Palestina modern itu diatur bangsa penjajah persis Indonesia yang diatur Belanda dan Jepang sebelum tahun 1945.
***
SEJAK sore hari Minggu, belasan polisi militer Saudi yang berpakaian cokelat, dilengkapi senapan laras panjang dan pistol, mengamankan Kalla di depan hotel. Pengamanan ini terlihat mencolok karena halaman depan Madinah Hilton--tempat wapres dan seluruh rombongan menginap-- merupakan salah satu jalan masuk utama menuju Masjid Nabawi.
Bahkan, bila jamaah satu dari tiga masjid suci umat Islam ini penuh, jamaah memakai jalan depan hotel untuk salat.
Madinah Hilton ini bintang lima, tapi fasilitasnya lebih bagus Clarion di Makassar. Karena hotel lama, banyak alatnya sudah rusak. Kamar president suite (satu pintu ke luar, tapi di dalam ada beberapa kamar, dan ruang tamu luas serta ruang makan mirip apartemen) yang ditempati
Aksa Mahmud dan nyonya serta anak dan keponakannya sudah rusak gagang pintunya.
Kamar saya di lantai sembilan rusak gagang pintu masuk toilet. Adapun pemanas airnya tidak berfungsi. Inilah salah satu hotel terbaik di Madinah karena halamannya menyatu dengan halaman Masjid Nabawi.
Petugas keamanan Saudi yang mengamankan Kalla di Hilton dilengkapi dua unit mobil sedan patroli. Di dada mereka ada tulisan "military police". Saudi memang menyambut kunjungan Kalla, 20-26 Agustus, agak istimewa.
Pada waktu pulang dilepas menteri agama, sedangkan sewaktu tiba di Madina, Kalla--yang hanya mengenakan baju lengan panjang--kaget karena disambut karpet merah dan barisan pejabat Madinah yang berpakaian jas.
Pembuatan kiswah (kain pembungkus Kakbah) di pinggiran Kota Mekkah yang libur pada Ramadan dibuka khusus untuk menyambut Kalla yang hendak meninjau tempat tersebut.
***
SETIBA di Madinah, Kalla sempat jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di sekitar hotel. Sama dengan Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi juga dikelilingi hotel dan pusat perbelanjaan modern.
Kira-kira kelasnya sama dengan Plaza Senayan di Jakarta atau dua level di atas Mal Ratu Indah di Makassar. Sebelum dan setelah salat lima waktu, pusat-pusat perbelanjaan itu diserbu ratusan ribu jamaah. Usai salat Subuh, terutama di Madinah, Anda sudah bisa langsung shopping, mulai emas
perhiasan hingga tasbih.
Para penjual kebanyakan dari Bangladesh, India, dan Pakistan. Bangsa kita kebanyakan kelas pembantu saja. Selebihnya jamaah haji atau umrah atau mahasiswa. Jarang ada pedagang, apalagi pedagang besar seperti seperti kebanyakan warga tiga bangsa itu.
Mengapa? Seperti warga Saudi, mereka umum menguasai bahasa lokal, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia. Bangsa kita hanya menguasai bahasa daerahnya plus bahasa Indonesia. Bahasa Inggris, aduh, kok jadi barang mewah bagi bangsa kita. Sewaktu berbelanja, Kalla ditemani beberapa koleganya seperti dr Farid Husein.
Kalla tertarik singgah di sebuah toko arloji. Jam tangan lamanya dirasakan kurang nyaman karena mulai melukai tangan. Kalla menyukai satu arloji. Menjawab pertanyaan Kalla, si penjual--yang tentu saja tidak tahu wakil presiden sedang mengincar barangnya-- memasang jebakan di harga 1.200 SR (Saudi Real, mata uang Saudi).
Harganya hampir Rp 4 juta. Satu SR sama dengan sekitar Rp 2.600.
Kalla menawar, bernegosiasi. Si penjual sempat bertahan di angka 700 setelah ditawar habis-habisan, namun Kalla berhasil menjebol pertahanan si penjual hingga melepasnya pada harga 500 SR.
Sewaktu hendak membayar, sejumlah kolega Kalla berlomba merogoh dompet untuk membelikan arlojo tersebut buat Kalla. Semula menolak, akhirnya Kalla tidak berdaya ketika Farid membayarnya. "Beliau masih punya utang," kata dr Farid sambil tertawa usai shopping dadakan itu.
Kalla tahu beda kultur Mekkah dan Madinah. Warga Mekkah biasanya kaku. Sedangkan warga Madinah lebih sopan. Warga Madinah lebih enak diajak "berunding" dan Kalla mememangkan perundingan itu.
***
PERTAMA tiba di Masjid Nabawi, saya masuk sendirian, tidak bersama rombongan. Saya buta total, tidak tahu mana barat mana timur. Panduan saya cuma satu: di mana jamaah berebut di situlah yang bagus.
Ini sama juga dengan perilaku jamaah di Kakbah. Jamaah berebut mendekati dan berdoa di sisi Kakbah yang dianggap bagus, seperti Hajar Aswad (batu dari surga), depan pintu Kakbah dan ruang antara Hajar Aswad dengan pintu Kakbah yang disebut Multazam, Maqom Ibrahim (tapak dua telapak kaki Nabi Ibrahim), serta sudut rukun Yamani.
Mana tempat berdoa yang bagus di Masjid Nabawi? Saya tidak tahu. Saya membaca bahwa ada makam Nabi Muhammad SAW serta dua sahabat, Abubakar dan Umar bin Khattab, di Madinah. Di mana? Saya tidak tahu.
Saya masuk saja ke Masjid Nabawi, menyaksikan kemegahan, tertegun dengan gairah jamaah mendekatkan diri pada Tuhan. Makin ke depan, makin padat. Dalam hati saya berkata, pasti ada yang menarik.
Pengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selalu membuat jalan masuk agar jamaah leluasa bergerak, beda dengan masjid kita yang kecil-kecil: Begitu Anda di saf depan, Anda sulit bergerak karena seluruh jalan di masjid sudah tertutup. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang menampung ratusan ribu jamaah, Anda sangat bebas bergerak.
Saya mengikuti arus bebas itu di Nabawi. Makin ke depan suasana masjid berubah. Banyak sekali lampu. Setiap satu meter ada lampu gantung. Tiang-tiang masjid yang dihiasi warna keemasan pun banyak sekali lampu-lampu tempelnya. Dalam hati saya bilang suasananya mirip toko penjual lampu di Jl Gunung Merapi. Semua lampu gantung terbaik dipajang di sana.
Bila Masjidil Haram indah karena kesederhannya, maka Masjid Nabawi indah karena "kemeriahan" hiasanya. Tiba di bagian depan, tidak kelihatan mana mimbar imam. Yang terlihat hanya dinding depan dan lautan jamaah yang sudah memenuhi masjid. Kami berjalan tertatih-tatih, berebutan satu ruang kosong, saling dorong.
Saya merasa tak berdaya. Dalam kondisi puasa badan loyo, sudah begitu badan yang loyo itu kecil pula. Orang Saudi, Turki, dan Afrika besar. Menarik napas saja barisan sudah goyang, apalagi benar-benar goyang.
Arus berbelok ke kiri. Sambil berebut, di sisi kanan saya lihat dinding. Di depan ada mimbar. Orang-orang berebutan mengambil tempat, pokoknya kacau. Dalam suasana yang kacau itu, jamaah langsung salat sunat atau memanjatkan posisi yang memungkinkan. Pokoknya takbir dulu, soal sujud di mana belakangan.
Saya mendapatkan tempat duduk lumayan bagus berkat sedikit kelincahan karena badan kecil. Yang gemuk memang luar biasa hebatnya pada sesi dorong-dorongan, tapi sulit sekali mereka mencari tempat duduk.
Salat sunat sebentar, berdizikir, dan masuklah salat Ashar. Usai salat, saya heran mengapa jamaah tak juga bergerak ke luar malah tambah banyak yang datang. Ah, saya pulang. Sambil menggerutu: Kok jelek sekali salat di Masjid Nabawi. Jamaahnya tidak teratur. Sambil menggerutu, saya berjalan ke arah luar. Tiba-tiba, di bagian tengah masjid, saya lihat Aksa Mahmud, sendirian. Setelah bersalaman, saya ceritakan apa yang barusan saya alami.
Spontan Aksa berteriak, "Ee... Dahlan, itulah nama Raodah. Di sebelahmu itu makam Nabi Muhammad. Berdoa di situ sangat makbul, persis di Multazam."
Aksa menertawai saya. "Kalau bisa sampai di situ, luar biasa. Saya biasanya menunggu sampai Tarawih selesai sambil berdoa. Saynag sekali kau tinggalkan...," begitu Aksa memberi tahu saya.
Aduh, sudah telanjur. Saya dan Aksa meninggalkan masjid. Pertanyaan soal mengapa jamaah berebutan ke sana terjawab sudah. Bila Kalla dikawal khusus petugas untuk dengan tenang melaksanakan salat 27 rakaat (Isya, Tarawih, dan Witir), dibimbing berdoa di Raodah, dan
dikawal untuk melaksanakan salat sunat dua rakaat di Raodah --sungguh, Pak Kalla, itu nikmat yang luar biasa.***
Laporan Haji dan Umroh
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Tuesday, 25-08-2009
Terseret Arus ke Makam Nabi
USAI tarwih, Minggu (23/8) malam, Wapres Jusuf Kalla dan Ny Mufida, didampingi Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud dan Ny Ramlah serta beberapaanggota rombongan berziarah ke Makam Nabi Muhammad SAW di dalam Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Imam Masjid Nabawi khusus mendampingi Kalla dan sekitar 50 anggota rombongan. Kalla diperlakukan secara khusus, ditempatkan di sebelah kiri makam nabi. Mereka salat Isya di sana, dilanjutkan Tarwih dan Witir 23 rakaat.
Kalla, yang sudah berusi 67 tahun, sanggup melaksanakan salat maraton sekitar 2,5 jam itu. "Ha, ha, ha. Alhamdulillah, masih kuat," kata Kalla kepada Tribun usai sahur di Madinah Hilton, Minggu (24/8). Ini hari kedua di Madinah, setelah sejak 20 Agustus lalu di Mekah. Rencana, Selasa (25/8) jelang tengah malam atau subuh (26/8) waktu Makassar, Kalla dan rombongan kembali ke Jakarta.
Wali Kota Ilham Arief Sirajuddin dan Nyonya Aliah mengikuti rombongan ini. Usai salat, Imam Masjid Nabawi membimbing Kalla dan rombongan ke Raodah untuk melaksanakan salat sunat dua rakaat. Di kompleks Masjid Nabawi, dulu ada rumah Nabi Muhammad SAW.
Di sebelah rumah ini ada mimbar (tempat nabi selalu berkhotbah kepada umatnya). Di sebelah rumah itu, nabi dimakamkan. Ruang antara mimbar dan makam nabi itulah yang disebut Raodah.
Banyak umat berebutan doa di sini karena diyakini akan diterima Allah, sama dengan berdoa di Multazam Kakbah (ruang atau wilayah di sekitar pintu kabar hingga Hajar Aswad).
Masjid Nabawi sangat luas. Ruangan salatnya lebih luas Lapangan Karebosi di Makassar (tapi saya heran mengapa masjid, sama juga dengan Masjidil Haram) selalu penuh.
Onamen-ornamen serta pahatnya luar biasa indah. Lampu-lampunya sangat banyak, bergelantungan di plafon tinggi. Ini merupakan masjid yang disucikan umat Islam selain Masjidil Haram di Mekah dan Masjidil Aqsa di Palestina.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, berkunjung ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sangat gampang. Saudi seperti saudara kita, senang sekali membantu mengeluarkan visa umrah maupun haji.Tambahan pula, setiap kali berkunjung ke kedua masjid itu selalu kita bertemu orang Indonesia atau orang Arab, Palestina, Pakistan, Turki, maupun Bangladesh yang mengerti bahasa Indonesia.
Subhanallah, seperti berada di bangsa sendiri, katakanlah di Al Markaz, tempat umat dari berbagai penjuru tertarik beribadah atau bahkan beribadah dengan penuh gairah. Berkunjung ke Masjidil Aqsa lebih sulit karena visa (izin masuk) dikontrol langsung pemerintah pendudukan, Israel.
Negara zionis ini memutuskan siapa yang boleh atau melarang orang berkunjung ke Palestina.
Sungguh ironis bahwa Palestina modern itu diatur bangsa penjajah persis Indonesia yang diatur Belanda dan Jepang sebelum tahun 1945.
***
SEJAK sore hari Minggu, belasan polisi militer Saudi yang berpakaian cokelat, dilengkapi senapan laras panjang dan pistol, mengamankan Kalla di depan hotel. Pengamanan ini terlihat mencolok karena halaman depan Madinah Hilton--tempat wapres dan seluruh rombongan menginap-- merupakan salah satu jalan masuk utama menuju Masjid Nabawi.
Bahkan, bila jamaah satu dari tiga masjid suci umat Islam ini penuh, jamaah memakai jalan depan hotel untuk salat.
Madinah Hilton ini bintang lima, tapi fasilitasnya lebih bagus Clarion di Makassar. Karena hotel lama, banyak alatnya sudah rusak. Kamar president suite (satu pintu ke luar, tapi di dalam ada beberapa kamar, dan ruang tamu luas serta ruang makan mirip apartemen) yang ditempati
Aksa Mahmud dan nyonya serta anak dan keponakannya sudah rusak gagang pintunya.
Kamar saya di lantai sembilan rusak gagang pintu masuk toilet. Adapun pemanas airnya tidak berfungsi. Inilah salah satu hotel terbaik di Madinah karena halamannya menyatu dengan halaman Masjid Nabawi.
Petugas keamanan Saudi yang mengamankan Kalla di Hilton dilengkapi dua unit mobil sedan patroli. Di dada mereka ada tulisan "military police". Saudi memang menyambut kunjungan Kalla, 20-26 Agustus, agak istimewa.
Pada waktu pulang dilepas menteri agama, sedangkan sewaktu tiba di Madina, Kalla--yang hanya mengenakan baju lengan panjang--kaget karena disambut karpet merah dan barisan pejabat Madinah yang berpakaian jas.
Pembuatan kiswah (kain pembungkus Kakbah) di pinggiran Kota Mekkah yang libur pada Ramadan dibuka khusus untuk menyambut Kalla yang hendak meninjau tempat tersebut.
***
SETIBA di Madinah, Kalla sempat jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di sekitar hotel. Sama dengan Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi juga dikelilingi hotel dan pusat perbelanjaan modern.
Kira-kira kelasnya sama dengan Plaza Senayan di Jakarta atau dua level di atas Mal Ratu Indah di Makassar. Sebelum dan setelah salat lima waktu, pusat-pusat perbelanjaan itu diserbu ratusan ribu jamaah. Usai salat Subuh, terutama di Madinah, Anda sudah bisa langsung shopping, mulai emas
perhiasan hingga tasbih.
Para penjual kebanyakan dari Bangladesh, India, dan Pakistan. Bangsa kita kebanyakan kelas pembantu saja. Selebihnya jamaah haji atau umrah atau mahasiswa. Jarang ada pedagang, apalagi pedagang besar seperti seperti kebanyakan warga tiga bangsa itu.
Mengapa? Seperti warga Saudi, mereka umum menguasai bahasa lokal, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia. Bangsa kita hanya menguasai bahasa daerahnya plus bahasa Indonesia. Bahasa Inggris, aduh, kok jadi barang mewah bagi bangsa kita. Sewaktu berbelanja, Kalla ditemani beberapa koleganya seperti dr Farid Husein.
Kalla tertarik singgah di sebuah toko arloji. Jam tangan lamanya dirasakan kurang nyaman karena mulai melukai tangan. Kalla menyukai satu arloji. Menjawab pertanyaan Kalla, si penjual--yang tentu saja tidak tahu wakil presiden sedang mengincar barangnya-- memasang jebakan di harga 1.200 SR (Saudi Real, mata uang Saudi).
Harganya hampir Rp 4 juta. Satu SR sama dengan sekitar Rp 2.600.
Kalla menawar, bernegosiasi. Si penjual sempat bertahan di angka 700 setelah ditawar habis-habisan, namun Kalla berhasil menjebol pertahanan si penjual hingga melepasnya pada harga 500 SR.
Sewaktu hendak membayar, sejumlah kolega Kalla berlomba merogoh dompet untuk membelikan arlojo tersebut buat Kalla. Semula menolak, akhirnya Kalla tidak berdaya ketika Farid membayarnya. "Beliau masih punya utang," kata dr Farid sambil tertawa usai shopping dadakan itu.
Kalla tahu beda kultur Mekkah dan Madinah. Warga Mekkah biasanya kaku. Sedangkan warga Madinah lebih sopan. Warga Madinah lebih enak diajak "berunding" dan Kalla mememangkan perundingan itu.
***
PERTAMA tiba di Masjid Nabawi, saya masuk sendirian, tidak bersama rombongan. Saya buta total, tidak tahu mana barat mana timur. Panduan saya cuma satu: di mana jamaah berebut di situlah yang bagus.
Ini sama juga dengan perilaku jamaah di Kakbah. Jamaah berebut mendekati dan berdoa di sisi Kakbah yang dianggap bagus, seperti Hajar Aswad (batu dari surga), depan pintu Kakbah dan ruang antara Hajar Aswad dengan pintu Kakbah yang disebut Multazam, Maqom Ibrahim (tapak dua telapak kaki Nabi Ibrahim), serta sudut rukun Yamani.
Mana tempat berdoa yang bagus di Masjid Nabawi? Saya tidak tahu. Saya membaca bahwa ada makam Nabi Muhammad SAW serta dua sahabat, Abubakar dan Umar bin Khattab, di Madinah. Di mana? Saya tidak tahu.
Saya masuk saja ke Masjid Nabawi, menyaksikan kemegahan, tertegun dengan gairah jamaah mendekatkan diri pada Tuhan. Makin ke depan, makin padat. Dalam hati saya berkata, pasti ada yang menarik.
Pengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selalu membuat jalan masuk agar jamaah leluasa bergerak, beda dengan masjid kita yang kecil-kecil: Begitu Anda di saf depan, Anda sulit bergerak karena seluruh jalan di masjid sudah tertutup. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang menampung ratusan ribu jamaah, Anda sangat bebas bergerak.
Saya mengikuti arus bebas itu di Nabawi. Makin ke depan suasana masjid berubah. Banyak sekali lampu. Setiap satu meter ada lampu gantung. Tiang-tiang masjid yang dihiasi warna keemasan pun banyak sekali lampu-lampu tempelnya. Dalam hati saya bilang suasananya mirip toko penjual lampu di Jl Gunung Merapi. Semua lampu gantung terbaik dipajang di sana.
Bila Masjidil Haram indah karena kesederhannya, maka Masjid Nabawi indah karena "kemeriahan" hiasanya. Tiba di bagian depan, tidak kelihatan mana mimbar imam. Yang terlihat hanya dinding depan dan lautan jamaah yang sudah memenuhi masjid. Kami berjalan tertatih-tatih, berebutan satu ruang kosong, saling dorong.
Saya merasa tak berdaya. Dalam kondisi puasa badan loyo, sudah begitu badan yang loyo itu kecil pula. Orang Saudi, Turki, dan Afrika besar. Menarik napas saja barisan sudah goyang, apalagi benar-benar goyang.
Arus berbelok ke kiri. Sambil berebut, di sisi kanan saya lihat dinding. Di depan ada mimbar. Orang-orang berebutan mengambil tempat, pokoknya kacau. Dalam suasana yang kacau itu, jamaah langsung salat sunat atau memanjatkan posisi yang memungkinkan. Pokoknya takbir dulu, soal sujud di mana belakangan.
Saya mendapatkan tempat duduk lumayan bagus berkat sedikit kelincahan karena badan kecil. Yang gemuk memang luar biasa hebatnya pada sesi dorong-dorongan, tapi sulit sekali mereka mencari tempat duduk.
Salat sunat sebentar, berdizikir, dan masuklah salat Ashar. Usai salat, saya heran mengapa jamaah tak juga bergerak ke luar malah tambah banyak yang datang. Ah, saya pulang. Sambil menggerutu: Kok jelek sekali salat di Masjid Nabawi. Jamaahnya tidak teratur. Sambil menggerutu, saya berjalan ke arah luar. Tiba-tiba, di bagian tengah masjid, saya lihat Aksa Mahmud, sendirian. Setelah bersalaman, saya ceritakan apa yang barusan saya alami.
Spontan Aksa berteriak, "Ee... Dahlan, itulah nama Raodah. Di sebelahmu itu makam Nabi Muhammad. Berdoa di situ sangat makbul, persis di Multazam."
Aksa menertawai saya. "Kalau bisa sampai di situ, luar biasa. Saya biasanya menunggu sampai Tarawih selesai sambil berdoa. Saynag sekali kau tinggalkan...," begitu Aksa memberi tahu saya.
Aduh, sudah telanjur. Saya dan Aksa meninggalkan masjid. Pertanyaan soal mengapa jamaah berebutan ke sana terjawab sudah. Bila Kalla dikawal khusus petugas untuk dengan tenang melaksanakan salat 27 rakaat (Isya, Tarawih, dan Witir), dibimbing berdoa di Raodah, dan
dikawal untuk melaksanakan salat sunat dua rakaat di Raodah --sungguh, Pak Kalla, itu nikmat yang luar biasa.***
Laporan Haji dan Umroh
No comments:
Post a Comment