Seorang tokoh berbicara di televisi tadi malam. Ia melarang televisi menayangkan gambar bentrokan antara massa dengan polisi PP di Koja, Jakarta Utara.
Alasannya, tayangan gambar itu, yang sudah berlangsung (gambar back up berita, bukan live), mengesankan peristiwa sedang berlangsung.
Karena kesannya sedang berlangsung, warga beramai-ramai ke Koja sehingga memicu bentrokan baru.
Baiklah. Ada benarnya. Mestinya pengelola TV menyertakan keterangan pada layar TV untuk menjawab pertanyaan pemirsa: apakah gambar itu live (sedang berlangsung) atau recorded (sudah berlangsung).
Tapi, cara berpikir di balik larangan penayangan gambar itu ada salahnya, bahkan berbahaya.
Bagaimana menangani berita: apakah dilarang (regulasi) atau dikelola (manage).
Melarang berarti membuat regulasi. Mengelola berarti membiarkan.
Kalau pemerintah menyadari dampak buruk berita, apakah harus melarang berita itu, mendidik masyarakat agar memahami berita secara benar, ataukah mengelola aparatur pemerintah agar menangani masalah secara benar?
Pilihan pertama adalah menciptakan regulasi. Adapun pilihan kedua dan terutama ketiga adalah mengelola.
Negara otoriter senang sekali dengan opsi pertama, melarang. Keterampilan utama mereka adalah melarang.
Sedangkan negara demokrasi tidak senang dengan opsi kedua dan ketiga tapi demokrasi menuntut demikian karena itu pilihan kedua dan ketiga itulah yang harus dilakukan.
Cina melarang Google beroperasi di negara komunis itu karena tidak senang dengan dampaknya.
Amerika Serikat juga tidak happy dengan kritik dan pesimisme yang berhamburan di internet.
Beda Amerika dari Cina: Tidak melarang internet tapi mendorong agar mesin pemerintah bekerja dengan baik. Meyakinkan rakyat tentang kebijakaannya, bahkan dengan menggunakan internet.
Bila muka Anda mengerikan, jangan larang cermin bekerja. Rapikanlah senyum Anda. Saya kira SBY sangat jago untuk urusan yang terakhir.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Selalu atas nama demokrasi, peran2 provokatif media selama ini dijadikan pembenaran...wajah masyarakat Indonesia telah berubah menjadi sosok manusia barbar, tidak seolah2 tidak lagi punya nurani & hanya nafsu ingin membunuh...Rakyat Indonesia telah kehilangan identitas sbg masy yang santun, religius & ramah terhadap sesama..dan suka tidak suka, media ikut berperan di dalamnya...Buat apa demokrasi kalo negeri ini harus hancur terkoyak2 karena konflik demi konflik antara sesama anak negeri...
ReplyDeleteSoalnya bukan demokrasi tapi juga cermin.
ReplyDeleteSalam Pak Masanto