Ask the Tribun Timur Editor
SEMULA saya mengira bahwa hanya kantor redaksi yang diwarnai marah-marah. Marah redaktur kepada reporter atau marah pemred kepada redaktur. Ternyata tidak!
Malam ini saya menghadiri acara pelepasan seorang direktur pemasaran sebuah industri yang sukses. Ia pensiun setelah hampir 30 tahun bekerja di sebuah perusahaan besar.
Si direktur itu bercerita: "Saya selalu dimarah-marahi bos." Dia dimarah-marahi, yang lain tidak.
Dan hebatnya, si direktur itu merasa sukses justru karena sering diomelin bos.
Pada gilirannya, si bos, seorang pengusaha yang merintis perusahaannya dari bawah, membuka rahasia.
"Bila Anda memarahi anak buah, Anda menyayangi anak buah itu. Anda menaruh harapan besar kepadanya," kata sang bos.
Si bos, yang melakukan berbagai terobosan besar, lalu membuka salah satu rahasia suksesnya.
"Pasanglah cita-cita setinggi mungkin. Ukur kemampuan Anda, nyatakan cita-cita. Bila Anda merasa kemampuan Anda hanya dua, nyatakanlah Anda ingin mencapai 10."
Wow, luar biasa. Bos ini praktisi, bukan akademisi. Dia tidak bercerita tentang teori motivasi tapi cerita tentang rahasia memotivasi diri sendiri hingga sukses.
Ini tidak baru sama sekali. Dua buku Donald Trumph, pengusaha real estate terkemuka Amerika Serikat, juga dipenuhi dengan pentingnya cita-cita setinggi langit.
Sama dengan Donald Trumph, si bos tadi bukan akademisi. Keduanya praktisi. Keduanya berbicara yang sama tentang motivasi diri. Tancapkan cita-cita setinggi langit. cita-cita bukan cuma membimbing tapi juga mendorong langkah kita menuju sukses.
Kaitannya dengan gaya kepemimpinan marah-marah? Cita-cita membuat Anda berharap. Terhadap anak buah yang memiliki potensi besar, pemimpin berharap. Manakala harapannya tidak sesuai dengan apa yang dia lihat, pemimpin itu marah-marah. Jadi marah sesungguhnya adalah energi besar menuju cita-cita besar.
Marah dan tercapainya cita-cita menarik, setidaknya dari sudut pandang paham berpikir positif. Bila marah, Anda sedang memanggil energi negatif, buah karya berpikir negatif. Mestinya pemimpin tidak marah, karena marah adalah energi negatif. Tapi kenapa marah justru melahirkan kesuksesan?
Stephen Covey bercerita tentang challenge and response. Saya jabarkan: Marah adalah hasil dari jarak antara challenge dan response yang terlalu dekat. Ada fakta dan Anda langsung bereaksi, tanpa merenung, tanpa berpikir, dan tanpa menimbang. Marah adalah produk reaksi spontan.
Anak buah yang mampu memberikan reaksi positif (buah dari berpikir positif) terhadap marahnya sang bos (buah dari berpikir negarif atau jarak antara challenge dan response yang terlalu dekat), seperti sudah dikatakan, menghasilkan kesuksesan.
Mengapa? Karena ketika sang bos marah (challenge), ia memberikan respon yang tidak seketika, tidak spontan. Ia mencerna marah itu, merenungkannya, memikirkannya, untuk menemukan energi positif dengan pembenaran berikut: bos marah karena dia ingin saya sukses. Itulah rahasianya, saya kira.
Seperti di organisasi non-redaksi lainnya, organisasi redaksi juga menghasilkan banyak reporter hebat, yang kemudian menjadi pemimpin hebat, juga dari gaya kepemimpinan marah-marah.
Apakah Anda yang sukses pernah atau sering dimarahi bos?
No comments:
Post a Comment