Ask the Tribun Timur Editor
Salah satu sifat internet: gampang dicari. Google membangun habit baru itu berdasarkan prinsip utama, cepat lebih baik dari pada lambat dan simple is good, sederhana lebih bagus daripada rumit.
Internet habits yang mengandalkan kecepatan mengubah habit mengonsumsi media massa, termasuk surat kabar.
Kita terbiasa mengonsumsi media massa dengan cara ini: merek dulu, isi belakangan. Artinya, di tengah banyak pilihan media, kita memilih merek yang akrab dengan kita, apapun beritanya.
Dengan Google, kebiasaan itu berubah. Di kotak search engine Google, kita menulis apa yang ingin kita tahu.
Dalam sekejap, muncullah menu tawaran Google. Kita memilih berdasarkan apa yang paling dekat dengan kebutuhan kita, bukan siapa (merek apa, perusahaan apa) yang menawarkan informasi itu.
Salah satu prinsip kerja mesin pencari Google adalah relevansi. Kita menulis kata-kata apa yang kita cari dan tugas Google adalah menemukan yang paling relevan. Sejauh ini, Google yang paling jago di situ. Itu pula yang menjelaskan mengapa Google menguasai lebih 90 persen pangsa pasar search engine di dunia.
Karena dominasi itu, Google memaksa kita berubah. Jeff Jarvis dalam "What Would Google Do!" menulis tentang "Google Rules". Seolah Google memiliki hukum sendiri. Hukum yang harus kita ikuti, bukan karena Google punya tentara, tapi karena kita membutuhkan Google.
Hukum Google tidak mengatur, tapi mengelola. Kehebatan Google lagi-lagi di situ: mengelola informasi agar gampang dicari, lebih cepat disajikan kepada pengguna internet, berdasarkan prinsip relevansi (relevant).
Makin relevan makin baik, begitulah cara kerja Google. Hukum Google.
Hukum itulah yang memaksa kita mengubah habit mengonsumsi informasi. Karena kita (pembaca) berubah, industri penyedia informasi seperti surat kabar dan situs berita online yang melayani kita pun juga harus menyesuaikan diri. Mereka harus tunduk pada hukum Google atau hilang di jagat internet. Hilang di mesin pencari Google sama saja berarti punah.
Terkadang kita segera membaca postingan blog daripada situs online media massa mainstream bila blogger menawarkan apa yang ingin kita ketahui sementara media massa mainstream tidak melakukannya.
Cara kerja inilah yang membunuh merek (brand). Loyalitas akhirnya bergeser dari loyalitas ke merek menuju loyalitas ke content (isi). Google punya andil besar di sana.
Content bisa diperluas maknanya menjadi services. MySpace adalah layanan jejaring sosial, seperti halnya Facebook. MySpace segera tenggelam, digantikan Facebook, antara lain karena layanan Facebook yang memenuhi kebutuhan pengguna internet.
MySpace masih beruntung. Dia jatuh tapi masih ada. Friendster lebih buruk. Dia masih ada tapi seperti sudah tiada.
Dulu kita akrab dengan email Yahoo! Google kemudian meluncurkan layanan Gmail yang lebih baik. Kapasitasnya tidak dibatasi. Mengirim dokumen sampiran jauh lebih cepat dengan Gmail daripada email Yahoo! Bila sampirannya berat, Yahoo! batuk-batuk tapi Gmail senyum-senyum saja. Pelan tapi pasti, email Yahoo! akan punah.
Saya masih memakai email Yahoo!, tapi lebih sering Gmail. Kalau saya boleh berterima kasih kepada Yahoo!, itu karena Yahoo! Mesenger-nya. Yang satu ini, buat sementara, belum tergantikan, bahkan oleh fasilitas chatting di Facebook.
So, sekarang era ini: content is the king.
No comments:
Post a Comment