Saturday, November 13, 2010

Kita dan Beras Thailand

Petani, bagi sebagian dari kita, berkonotasi buruk: miskin, kerja bermandi matahari dan peluh, kusut, serta sosok bertopi lebar yang bajunya robek-robek.

Karena petani miskin dia bodoh. Atau karena dia bodoh dia miskin.

Hasil karya petani pun, sayangnya, ikut kecipratan citra negatif itu. Sebutlah beras.

Warga kota, profesional yang necis, tentu malu membawa-bawa kantong kresek hitam berisi beras.

Membawa beras ke kantor? Menjadikan beras sebagai hadiah? Aduh, jangan mimpi, deh!

Thailand menjadikan mimpi itu jadi kenyataan. Lihatlah foto di atas.

Itu merupakan kemasan indah berkelas. Isinya butiran-butiran putih beras Thailand.

Satu bungkus berisi satu kilogram. Bungkus ini terdiri atas tiga lapis. Lapisan pertama berwarna keputihan, mirip kertas bungkus dalam rokok.

Kedua, semacam baju dalam. Nah, lapisan ketiga berbentuk mirip tas kecil. Ada tali pegangannya.

Dengan kemasan ini, beras Thailand masuk ke resepsi pernikahan sebagai buah tangan buat para tamu.

Kemasan ini juga menjadi hadiah perlambang persahabatan.

"Saya dikirimi teman dari Thailand," kata Aksa Mahmud, founder Bosowa Corporation tentang beras Thailand di rumahnya, kawasan Menteng, Jakarta.

Dengan kemasan itu, beras jadi produk lifestyle. Beras tidak lagi menjadi simbol produk desa. Beras seperti punya tiket masuk mal. Atau cafe. Atau kamar hotel. Atau meja tamu rumah pejabat.

Bagaimana kalau kita, juga pemerintah, mengajari petani kita bukan cuma tentang cara menanam padi tapi juga mengenai cara mengemas dan cara memasarkan?

Mungkin dengan itu, kita akan melihat petani secara berbeda. Juga hasil peluh dan keringatnya.




Dahlan Dahi

dahlandahi.blogspot.com
tribun-timur.com
tribun-medan.com
tribunnews.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...