Taruhan bangsa Amerika
KALAU kamu telah menghunus pedangmu, kamu harus mengunakannya! Kalimat tua itu ditulis Fareed Zakaria dalam kolomnya di Newsweek edisi 17 Februari. Ia mengutip seorang diplomat senior Asia yang tak disebutkan namanya untuk menggambarkan posisi Amerika Serikat (AS) saat ini: Bush telah menghunus pedang untuk memenggal kepala Saddam, dan dia harus menggunakannya. “You’ve drawn your sword. Now you must use it.”
Memang, hampir tidak ada yang percaya Bush akan memasukan kembali pedang ke sarungnya. Polling Time/CNN setelah Powell berbicara di sidang Dewan Keamanan (DK) PBB mengungkapkan, 75 persen responden berpendapat, perang tak mungkin lagi dihindari. Bahkan, setelah pidato bersejarah Powell tersebut, 17 persen rakyat AS, yang semula menentang perang, berbalik arah mendukung rencana Bush. Rakyat AS percaya, Saddam adalah orang paling berbahaya di dunia, dan karena itu, harus dilenyapkan. Dengan segala cara.
Sayang, angin sejarah sedang tak berpihak pada Bush. Dunia berpaling dari benua Amerika ke Eropa untuk melihat tarian yang dimainkan Presiden Perancis Jacques Chirac. Akhir tahun lalu, ketika PBB merumuskan resolusi 1441, Chirac berdiri di posisi Bush, mendukung resolusi yang mempersulit posisi Saddam. Saat itu, Bush baru saja sukses menggulung Taliban dan mendapatkan mandat internasional yang luas. Tapi kini, ketika Bush semakin tampak arogan, dan gagal meyakinkan dunia internasional tentang pentingnya memerangi Saddam, Chirac memalingkan muka. Ia menentang perang.
Sebagai pemimpin satu dari lima negara yang memiliki kekuasaan veto di PBB, geliat Chirac tak pelak lagi mengubah peta politik dunia. Apalagi kemudian ia disokong penuh oleh Jerman, negara yang bersama Perancis, lantas diolok-olok Menhan AS Donald Rumsfeld sebagai “old Europe”. Dan, Eropa kini sanggup berkata tidak kepada Bush. Posisi itu didukung Austria ketika mengatakan, tidak akan mengijinkan wilayahnya dilewati pasukan AS tanpa Bush membawa mandat perang dari PBB.
Sidang Dewan Keamanan PBB 14 Februari lalu semakin memojokkan Bush. Perancis dan Jerman, yang juga menentang perang, didukung Rusia, pemegang kartu as hak veto. Putin, yang diklaim Bush sebagai sahabat baiknya, memilih bersama “old Europe” ketimbang bersekutu dengan bangsa Amerika. Sikap Rusia itu diikuti pemegang hak veto lainnya, RRC, sekutu lama Rusia. Dengan demikian, Bush hanya mampu mendapatkan dukungan dari Inggris, tetapi skor di Dewan Keamanan menjadi 3-2 untuk Jacques “Zinedine Zidane” Chirac dkk. Dunia seolah bersorak kegirangan menyaksikan AS yang kalah.
Jelas, makin sulit bagi Bush untuk mendapatkan mandat PBB untuk mewujudkan ambisinya memerangi Saddam. Tapi ia masih punya kartu lain. Seorang diplomat Indonesia di Cairo menyebutkan, Bush akan bertindak nekat untuk menyelamatkan mukanya. Pedang telah dihunus dan dia harus menggunakannya.
“Bush akan menggunakan kekuatan unilateral,” ujar diplomat tersebut. Kekuatan unilateral itu dibangung atas dukungan Inggris, Australia, Italia, beberapa negara Eropa Timur, dan sejumlah negara Timur Tengah. Dalam bahasa Time, Bush akan membuat DK PBB menjadi irrelevant, tidak relevan.
***
PERANCIS dan Jerman, sebenarnya, adalah sekutu Amerika, kata diplomat tadi. Namun, keponggahan Bush dan bangsa Amerika belakangan ini agaknya membangkitkan harga diri dua pemimpin negara berpengaruh di Eropa tersebut. “Apa-apaan, lu, Bush,” begitulah kira-kira kata Chirac dan Schroder.
Bush agaknya sedang mengayun pedang di pentas dunia yang sudah berubah. Jerman yang bersatu sekarang ini, kata diplomat tersebut, bukan lagi Jerman yang dulu dicabik-cabik AS dan Uni Soviet. Jerman sekarang lebih kuat, bersatu, dan mulai tumbuh kebanggaannya sebagai bangsa Arya yang unggul.
Kepeloporan Perancis dan Jerman seolah menyulut keberanian para pemimpin Arab. Segera setelah DK PBB bersidang mendengar laporan Blix dan El Baradei, Presiden Mesir Hosni Mubarak menyerukan segera digelar “emergency summit” para pemimpin Arab. Bahkan direncanakan, Mubarak akan terbang ke Paris untuk menemui Chirac.
Dari awal, Mesir, negara yang sebenarnya banyak mendapatkan bantuan ekonomi AS, menolak solusi perang dalam mengatasi krisis Irak. Bersama Raja Abdullah dari Jordania, Mubarak melakukan safari menemui para pemimpin Arab untuk membangun “visi Arab”. Bagaimanapun, Mubarak berpendapat, serangan AS ke Irak akan menyulut perang regional.
Mubarak dan Raja Abdullah melihat rencana serangan ke Irak tak boleh dilepaskan dari isu Palestina. Belakangan ini, pasukan Sharon terus menerus membantai warga sipil Palestina, tanpa Bush bisa menyetopnya. Terhadap Saddam, Bush amat kencang, sementara terhadap Sharon, yang mengerahkan ribuan tentaranya memerangi penduduk sipil Palestina sejak Maret tahun lalu, Bush tak mampu berbuat apa-apa.
“Tujuan kami adalah menghindari perang di Irak dan menyelamatkan rakyat Irak tak berdosa bila perang meledak. Tapi sebuah pertanyaan besar adalah apa yang yang terjadi di Irak setelah serangan,” kata Mubarak.
Inisiatif yang lebih “lunak” diusung Arab Saudi, karib AS di Teluk. Negara kerajaan ini sepertinya melihat Saddam dan Bush sedang bermain pedang. Dan, agar Bush memasukan kembali pedang ke sarungnya, Saddam harus menyingkir dari Baghdad. Hanya dengan itu, Arab Saudi melihat Bush tidak akan kehilangan muka.
Seorang diplomat yang dikutip harian Al Ahram, surat kabar berpengaruh di Mesir, melukiskan posisi Bush tidak sebagai pemain pedang tapi sebagai pemanjat pohon. Dengan mengirim pasukan demikian banyak ke Timur Tengah untuk menggempur Irak, Bush telah memanjat pohon yang tinggi. Agar dia tidak kehilangan muka, harus tersedia tangga yang memungkinkan dia turun dari pohon dengan bermartabat. “Jalan keluar yang sama dibutuhkan untuk Saddam bila ia menerima tuntutan untuk mundur,” ujar diplomat Arab tersebut. Arab Saudi sedang berusaha meminta jaminan AS, agar setelah Saddam turun, diktator itu tidak akan di-Pinochet-kan.
Persoalannya lalu, maukah Bush meletakan pedang yang telah dihunusnya? Maukah Saddam menerima tuntutan untuk mundur dari singgasananya? Perjalanan waktu beberapa pekan mendatang akan menjawab pertanyaan tersebut. Yang sudah terlihat dengan jelas saat ini adalah Bush sedang mempertaruhkan martabat bangsa Amerika dalam percaturan politik global. Lalu tersisa satu pertanyaan, akankah Bush mampu mempertahankan dominasi AS sebagai satu-satunya negara adi kuasa di dunia ketika Perancis, Jerman, Rusia, dan China mampu dan berani berkata tidak kepada Washington? (Dahlan, Laporan dari Cairo, Mesir)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com
No comments:
Post a Comment