Mubarak, Raja Abdullah, dan masa depan bangsa Arab
BELAKANGAN ini, Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Raja Jordania Abdullah II makin sibuk. Saling bergantian mereka keliling menemui para pemimpin negara Arab dengan dua misi utama: mencegah serangan Amerika Serikat (AS) ke Irak dan membicarakan masa depan Palestina.
Kedua masalah itu nampaknya berkaitan erat dengan stabilitas kawasan Timur Tengah. Serangan ke Irak dikhawatirkan akan memicu destabilisasi politik di kawasan tersebut. Seraya pada saat yang sama, melupakan nasib rakyat Palestina yang hampir setiap hari dibunuh tentara Israel.
Terakhir, kedua pemimpin Arab itu bertemu di tempat wisata Aqaba, Jordania, Sabtu (8/2). Mubarak dan Abdullah sepakat, solusi damai merupakan jalan terbaik mengakhiri krisis Irak. Bagaimanapun, keduanya melihat datangnya malapetaka bagi Timur Tengah bila AS benar-benar menggempur Irak. Bukan mustahil, perang tersebut akan menyeret kawasan ini ke kancah perang regional.
“Presiden (Mubarak) dan Raja (Abdullah) menekankan usaha ke arah penyelesaian damai terhadap krisis Irak dalam usaha untuk mencegah perang regional,” tulis Cairo Press Review edisi 9 Februari.
Tidak banyak tersedia pilihan untuk menemukan solusi damai. Mubarak dan Abdullah meminta mitranya dari Irak, Presiden Saddam Hussein, untuk bekerjasama secara penuh dengan tim inspektur pemeriksa senjata pemusnah massal PBB.
Sebelum bertemu Abdullah, Mubarak menemui beberapa pemimpin Arab di Teluk, seperti raja Saudi Arabia dan emir Kuwait. Sementara, Raja Abdullah datang khusus ke Ryadh untuk berbicara langsung dengan Raja Fahd dan Putra Mahkota Abdullah.
Baik Mubarak maupun Abdullah sama menginginkan para pemimpin Arab memiliki kesamaan visi dalam melihat masa depan kawasan. Mereka berdua memainkan peran sebagai jembatan penghubung para pemimpin Arab. Dengan kesamaan visi, keduanya berharap pemimpin Arab mengambil langkah yang seirama untuk menjaga keamanan kawasan dan masa depan bangsa Arab.
”Kedua pemimpin Arab itu … membentuk visi Arab dan mengkoordinasikan tindakan Arab dalam arena internasional,” jelas Menteri Penerangan Mesir Safwat Al-Sherif sesuai pertemuan Mubarak-Abdullah.
Para pemimpin Arab, yang terdiri atas 22 negara, selama ini dikenal sulit akur. Inisiatif dua pemimpin Arab tentu saja didorong harapan agar perbedaan-perbedaan tersebut dikesampingkan sementara, mengingat ancaman stabilitas kawasan sedang menanti di depan mata.
***
KELIHATAN sekali, para pemimpin Arab cenderung mementingkan negaranya masing-masing. Lebih sempit lagi, kepentingan status quo kekuasaan mereka. Liga Arab, organisasi regional yang menghimpun 22 negara Arab, seperti lumpuh sama sekali. Merespon krisis Irak, organisasi itu baru akan menggelar pertemuan di Cairo awal Maret nanti, ketika AS justru diperkirakan mulai menggempur Irak.
Sekjen Liga Arab Amr Musa mengatakan kawasan Timur Tengah sedang menghadapi masalah serius. Bagaimanapun, Irak termasuk salah satu pilar penting negara Arab. Bila penyangga kawasan itu oleng, tentu seluruh kawasan akan ikut goncang. “Dengan perang, kawasan Timur Tengah akan menghadapi tantangan serius dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial, dan moral,” katanya.
Menyadari masalah yang dihadapi Timur Tengah begitu berat, Dr Mostafa Al-Fiki, seorang politisi dan intelektual, mengatakan dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Jazeera, para pemimpin Arab harus menemukan solusi regional. Mereka harus bertemu dengan melibatkan Turki dan Iran, dua negara yang bukan bangsa Arab, tapi pemain kunci di Timur Tengah.
Lalu, masalah apa yang sedang dan akan dihadapi bangsa Arab? Pertama, gejolak dan ketegangan politik di sejumlah negara tetangga Irak. AS berusaha menjatuhkan Saddam lewat perang. Banyak pengamat mengkhawatirkan, tanpa Saddam, Irak akan terpecah belah. Bagian utara, yang dihuni suku Kurdi, akan bangkit. Mereka sekarang meminta sistem federalisme. Kebangkitan suku Kurdi di Irak utara dikhawatirkan akan membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang bermukim di utara Turki.
Irak utara adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan Turki sejauh 352 km. Etnis Kurdi Irak dan etnis Kurdi Turki yang berdiam di kawasan itu hanya dipisahkan oleh garis perbatasan. Sementara, secara politis, mereka merasa sebagai satu nation, satu bangsa yang memiliki cita-cita dan impian masa depan yang sama.
Di Irak selatan, para penganut Shiah akan mendapatkan dukungan dari Iran. Hal ini akan menciptakan ketegangan dengan Arab Saudi, negara yang memiliki garis perbatasan dengan Irak sepanjang 814 km dan dihuni mayoritas muslim Sunni. Peganut muslim Shiah di Irak diperkirakan 60-70 persen dari total penduduk yang berjumlah sekitar 24 juta. Sementara etnis Kurdi 15-20 persen.
Rencananya, AS akan menyusun pemerintahan baru pasca Saddam. Bila kelompok-kelompok oposisi Saddam, baik dari suku Kurdi maupun penganut Shiah tidak puas, Irak –yang berbatasan dengan Turki, Iran, Kuwait, Arab Saudi, Suriah, dan Jordania—akan terus menerus dilanda ketidakstabilan politik. Bahkan dikhawatirkan akan tergelincir ke kubangan perang saudara, sesuatu yang tentu saja membuat negara-negara tetangganya tidak bisa tidur nyenyak.
“Perang akan melahirkan efek domino ke seantero kawasan Timur Tengah. Bila perang meletus, kesatuan Irak akan hancur. Negara itu akan pecah berkeping-keping yang pada gilirannya membawa ancaman pada stabilitas kawasan,” kata Ahmad Abdul Gheit, wakil tetap Mesir di PBB dalam wawancara dengan harian Kuwait, Al Anbaa.
Kedua, makin kuatnya dominasi AS di Timur Tengah. Pemerintahan pasca Saddam nanti jelas akan berpihak kepada AS. Dengan demikian, seluruh negara penghasil minyak di kawasan Teluk praktis dalam kontrol AS, kecuali Iran, negara yang bersama Irak dan Korea Utara (komunis) dimasukan dalam “poros kejahatan” oleh Bush.
Di luar Teluk, AS telah lama bersabahat dengan Mesir, Jordania, dan Israel. Dengan Turki, AS sama sekali tak pernah menemui kesulitan berarti. Turki, yang sudah modern dengan gaya kehidupan ala Eropa, dimana CD porno bisa ditemukan dimana-mana, adalah anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Untuk mengatasi Iran, Musthafa Abd Rahman, pengamat Timur Tengah dan wartawan Kompas yang berbasis di Cairo, Mesir, melihat, AS akan mendukung kelompok reformis. Kelompok pembaharu ini diharapkan menetralisir kekuatan konservatif yang anti AS.
Bila Iran bisa dinetralisir, boleh dibilang, tidak ada lagi ancaman serius bagi Israel di kawasan Timur Tengah. Tentu saja, pada akhirnya, perkembangan ini akan semakin menyulitkan posisi tawar Palestina terhadap Israel.
Setelah menguasai seluruh Timur Tengah, AS akan semakin memantapkan diri sebagai satu-satunya negara super power di dunia. Seluruh Eropa, kecuali Jerman dan Perancis yang belakangan getol menentang rencana serangan AS ke Irak, praktis dalam genggaman Bush. Negara-negara Eropa Timur, yang dulu berpihak kepada Uni Soviet, kini semuanya pro Barat (AS).
***
JATUHNYA rejim Saddam diyakini bukan tujuan akhir AS. Seorang pengamat mengatakan, AS akan meluncurkan proyek “modernisasi” Timur Tengah segera setelah Saddam, sang perintang yang berkuasa sejak 1979, pergi. Ada empat bidang strategis yang akan dipermak agar Timur Tengah, seperti negara-negara bekas komunis di Eropa Timur, bisa dijinakkan.
Pertama, “modernisasi” bidang politik. Sebagian besar negara di kawasan ini masih menganut sistem politik monarki tradisional dan mempraktekkan totalitarianisme. “Modernisasi” politik berarti memperkenalkan sistem demokrasi ala Barat. Proyek ini akan membabat habis lembaga-lembaga kerajaan dan sistem totalitarianisme yang telah mengakar kuat dalam kultur, sistem politik, dan perilaku politik bangsa Arab.
Kedua, “modernisasi” bidang ekonomi. Intinya, penerapan sistem pasar bebas secara penuh, agar Timur Tengah terbuka menjadi pasar baru kapitalisme global. Perusahaan-perusahaan asing (Barat) dengan demikian akan juga terbuka lebar aksesnya untuk masuk ke kawasan kaya minyak ini, menggeser dominasi perusahaan patronase swasta-kerajaan.
Ketiga, “modernisasi” bidang sosial. Sistem pendidikan harus mengikuti sistem Barat, demi “modernisasi” Islam. Ini merupakan semacam proyek “cuci otak” untuk mempersiapkan generasi baru bangsa Arab yang lebih pro Barat.
Dan, yang keempat, “modernisasi” Islam. Hal ini berkaitan dengan “modernisasi” bidang sosial. Tujuannya, Islam tidak lagi menjadi sumber inspirasi sentimen anti Barat. Dalam bahasa yang agak telanjang, Islam tidak lagi menjadi sumber terorisme seperti selama ini dituduhkan Barat.
***
TENTU saja, AS tidak akan dengan gampang mampu mewujudkan seluruh ambisinya di Timur Tengah. AS selama ini memang mampu menjinakkan para pemimpin Arab. Namun, negara adidaya sekutu Israel itu tidak selalu berhasil menarik simpati rakyat bangsa Arab yang Muslim.
Rami G Khouri, seorang penulis Jordania, berpendapat, ada tiga pemain kunci dalam politik Timur Tengah. Yakni, penguasa Arab, massa rakyat kebanyakan, dan kelompok militan yang jumlahnya kecil namun cukup berpengaruh. Ketiga pemain selalu merespon secara berbeda setiap isu, termasuk rencana serangan AS ke Irak.
Penguasa Arab, karena ingin mempertahankan kekuasaan, tidak pernah berani berkata “tidak” pada setiap kemauan AS. Mereka tentu melihat bagaimana AS memperlakukan Saddam atau para pemimpin Taliban di Afganistan yang keras kepala.
Melihat pemimpinnya bersikap yes man pada AS, massa rakyat diam apatis karena tak berdaya. Mereka memimpikan datangnya pemimpin Arab yang mampu menjaga kehormatan bangsa Arab. Karena itulah, kendati sebetulnya Saddam seorang pemimpin yang otoriter, ia tetap mendapat simpati dari rakyat bangsa Arab.
Sementara, kelompok militan menunjukkan responnya lewat aksi kekerasan. Bukan dengan maksud mengalahkan AS, tapi melampiaskan kemarahan. Massa rakyat menemukan kelompok militan sebagai penyalur aspirasi kemarahan dan kejengkelan mereka.
Khouri, yang menulis di Jordan Times edisi 5 Februari, memperkuat argumentasinya dengan fakta sejarah. Perang 1967, yang melibatkan negara-negara Arab dan berakhir dengan kemenangan Israel, melahirkan perlawanan politik dan militer terhadap Israel. Sentimen anti AS tumbuh subur, karena Paman Sam dianggap sebagai negara yang terus menerus melindungi negara zionis tersebut.
Invasi Israel ke Lebanon dan berakhir dengan pendudukan Lebanon selatan melahirkan kelompok perlawanan bersenjata Lebanon. Sementara, Perang Teluk tahun 1991 melahirkan kelompok militan Islam Afganistan, Kekerasan yang terus dipertontonkan Israel dengan menginjak-injak kesepakatan damai Oslo tahun 1993, pada akhirnya ikut memberi andil lahirnya perlawanan intifidah, sampai hari ini.
Bila asumsi-asumsi tersebut mendekati kenyataan, kita akan menyaksikan beberapa fenomena berikut di Timur Tengah pasca Saddam. Pertama, instabilitas politik kawasan yang dipicu kekacauan politik di Irak. Kedua, semakin dominannya peran AS di kawasan Timur Tengah. Ketiga, Israel akan semakin mendiktekan kemauannya di wilayah pendudukan Palestina. Keempat, munculnya konflik baru antara AS dengan para pemimpin Arab tradisional, terutama ketika Paman Sam memaksakan “empat proyek modernisasi”. Lebih jauh, bila merasa terjepit, para pemimpin Arab akan berpaling dari AS dan lebih mendengar aspirasi massa rakyat dan sekelompok kecil militan yang anti Barat.
Bila ini benar, maka apa yang dikatakan Huntington sebagai the clash of civilization (antara Barat dan Islam) akan terus berlangsung dan terus mengisi lembaran-lembaran dinamika pergolakan memperebutkan pengaruh di berbagai belahan dunia.
Mungkin karena itulah, Mubarak dan Abdullah II terus melobi para pemimpin Arab untuk membangun visi dan melakukan tindakan bersama. Memang terasa seperti menggarami lautan. Namun, sekecil apapun dampak inisiatif kedua pemimpin, masih lebih baik ketimbang terus menerus berciuman pipi dengan sekutu-sekutu bule. (Dahlan, Laporan dari Cairo, Mesir)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda
No comments:
Post a Comment