Makassar, 18 Februari 2005
Dahlan
Wartawan Tribun Timur,
Bertugas Tiga Bulan
di Irak, Jordania,
dan Mesir
KESAN‑KESAN TENTANG IRAK
Ali Baba dan Milisi
KEMARIN, publik di Indonesia geger oleh berita hilangnya reporter Metro TV, Meutya Hafid, dan kameramen Budiyanto.
Laporan sementara menyebutkan, kedua jurnalis itu hilang di Ramadi, kota gurun sarangnya milisi bersenjata, 162 kilometer barat Bagdad, ibu kota Irak.
Kapan? Sejauh ini belum jelas. Keduanya menyewa mobil milik warga Jordania, 15 September. Sempat ada kontak sebentar sesampai di Karama Border, perbatasan Jordania-Irak. Setelah itu, hilang kontak sama sekali.
Jordania, negeri kecil berpenduduk 5,6 juta, selama ini memang menjadi tempat transit wartawan dari berbagai penjuru dunia sebelum meliput ke Irak.
Negeri kerajaan ini membuka akses seluas-luasnya kepada wartawan asing. Beda dari negara tetangga Irak lainnya seperti Kuwait, Suriah, apalagi Arab Saudi, Jordania tidak mengharuskan wartawan memakai visa jurnalis. Cukup visa turis.
Karena itulah, ketika Presiden Amerika Serikat George W Bush menyerbu Irak, April 2003, ribuan wartawan internasional berlomba-lomba menjadikan Jordania sebagai pangkalan. BBC, misalnya, menyewa salah satu hotel di Kota Amman sebagai tempat melaporkan perkembangan Irak dari menit ke menit.
Dari Jordania ke Irak, ada dua akses. Satu, lewat pesawat. Penerbangan pendek saja, sekitar satu jam. Lebih aman, kendati ada risiko ditembak jatuh oleh milisi Irak.
Cuma, sejauh ini, milisi tidak menyerang penerbangan sipil. Hanya helikopter AS saja yang sejauh ini menjadi sasaran.
Cara kedua, lewat jalan darat. Untuk ini, wartawan biasanya mencarter mobil yang biasa mangkal di terminal di pinggiran Kota Amman, ibu kota Jordania. Sewanya ketika itu sekitar 1.000 dolar AS atau Rp 9 juta (kurs Rp 9.000).
Meutya dan Budiyanto memilih menyewa mobil milik warga Jordania. Biasanya, mobil yang disewa jenis GMC, seperti Land Cruiser kalau di Indonesia. Cukup nyaman untuk perjalanan jauh.
Dilaporkan, mereka meninggalkan Amman pukul 02.00 dinihari waktu setempat (di musim panas, Amman-Jakarta beda waktu empat jam).
Pastilah, Meutya dan Budiyanto memikirkan aspek keamanan mengapa memilih berangkat pukul 02.00 dinihari.
Dari Amman ke Karama Border, perbatasan, ditempuh sekitar empat-lima jam, tergantung seberapa sering polisi Kerajaan Jordania melakukan pemeriksaan. Ada beberapa check point, tempat wartawan diperiksa identitasnya, sebelum sampai ke perbatasan.
Berangkat pukul 02.00 dinihari disertai perhitungan bahwa mereka akan sampai di perbatasan, dengan jalan agak santai, pukul 06.00 pagi, sambil menunggu petugas perbatasan Jordania maupun Irak mulai bekerja.
Melewati jalan yang tidak terlalu lebar, cukup untuk berpapasan dua mobil, serta di kiri-kanan jalan dihiasi gurun, jalan Amman-perbatasan relatif aman. Jarang ada peristiwa kriminal di sini (orang Arab sangat takut mencuri, takut tangannya di potong).
Tiba di perbatasan, Meutya-Budianto masih harus menempuh perjalanan sejauh 1.000 kilometer sebelum sampai di Kota Bagdad. Kira-kira sama jauhnya dengan perjalanan Jakarta-Surabaya.
Dari perbatasan ke Bagdad, jalanannya cukup lebar dan mulus. Seperti jalan tol Jagorawi kalau di Jakarta, namun highway Irak itu lebih lebar dan mulus. Konon pesawat tempur bisa menggunakan jalan itu sebagai tempat landing (mendarat dalam situasi darurat).
Saking mulusnya, sopir-sopir Bagdad-Amman sering menyeduh teh --minuman kegemaran di sana-- sambil menyetir mobil.
Dengan tiba pagi hari di perbatasan, Meutya dan Budianto ingin melewati perjalanan perbatasan-Bagdad pada siang hari.
Sebenarnya, perjalanan pada siang hari pun sangat rawan, apalagi pada malam hari. Dalam perjalanan menuju Bagdad, yang melewati gurun pasir tak bertuan, jarang ada pemukiman apalagi kantor polisi. Maut mengintai kapan saja.
Dan, bila kita mati, kita akan mati seperti kambing. Jangankan berharap ada yang mengusut siapa sang pembunuh, mayat pun mungkin tidak ada yang mengurus.
Memang, ratusan ribu tentara AS dan polisi Irak saat ini mengamankan wilayah itu. Namun, mereka hanya menguasai teritori tertentu (bahkan, kadang-kadang, markas mereka pun juga diserang).
Boleh dikata, sebagian besar wilayah Irak adalah kawasan tak bertuan, dan di situlah wilayah "kerajaan" pasukan milisi dan Ali Baba.
***
RAMADI, kota tempat wartawan itu dilaporkan hilang, sering disinggahi sopir-sopir dari Jordania. Ada warung yang menjual kabab, sate kambing yang lezat, yang dimakan dengan roti ala Arab. Kadang-kadang diselingi sup kacang.
Di tepi jalan kota ini pun ada sebuah pompa bensin, terletak di sisi kiri jalan poros perbatasan-Bagdad. Pompa bensin ini seperti bangunan aneh di tengah gurun. Tak ada pemukiman di sana.
Bersama rombongan wartawan Kompas, TV7, dan wartawan Indonesia lainnya, serta ratusan wartawan asing dari berbagai penjuru dunia, kami pernah melewati kota ini, 10 April 2003, satu hari setelah patung Saddam Hussein dijatuhkan massa dan tentara AS.
Patung itu terletak di Firdaus Square, Bundaran Firdaus, persis di depan Palestine Hotel yang terkenal itu. Kejatuhan patung itu dianggap sebagai perlambang jatuhnya Kota Bagdad ke tangan tentara pendudukan AS, yang masih bercokol sampai sekarang.
Itu juga dianggap perlambang kejatuhan rezim Saddam yang berkuasa di negeri itu lebih dari 20 tahun.
Ketika itu, iring-iringan mobil kami singgah mengisi bensin. Sekalian istirahat, setelah menempuh perjalanan panjang dari perbatasan.
Saat mobil-mobil sedang antre mengisi bahan bakar, tiba-tiba datang segerombolan milisi. Berpakaian sipil, menutup wajah dengan kain, dan ini yang paling menakutkan: menenteng senjata AK-47.
Apa yang kami khawatirkan akhirnya terjadi di siang bolong itu: milisi itu melepaskan tembakan ke udara. Mendengar letusan senjata, para wartawan yang tadinya ke luar mobil untuk sekadar meluruskan punggung berlarian masuk ke mobil, dan tancap gas.
Sialnya, antrean begitu panjang dan terjebak di jalan masuk menuju pompa bensin.
Dengan susah payah, dan dalam kepanikan tingkat tinggi, mobil-mobil itu menjauh dari para milisi. Dalam upaya menyelamatkan diri itu, sebagian mobil mengarah ke jalan kembali menuju Jordania, sebagian lainnya mengarah ke jalan menuju Bagdad.
Belakangan kami dengar kabar, satu mobil wartawan Indonesia terjebak, dan dirampok. Satu lagi korban lainnya adalah wartawan media elektronik Jepang. Kameranya dirampas. Untungnya, tidak ada korban jiwa maupun luka.
Di sini pulalah, seorang wartawan Indonesia ditikam di kakinya dan uangnya dirampas dalam perjalanan pulang dari Bagdad menuju Jordania.
Ramadi memang kota basis Suni yang relatif bergolak sampai saat ini. Seperti kota-kota lainnya di Irak, sebagian kecil kota ini dikuasai polisi Irak dan tentara AS, tapi sebagian besar lainnya dikuasai milisi.
***
SEBELUM Saddam jatuh, Karama Border termasuk wilayah yang angker. Di sana ada poster diri Saddam Hussein ukuran raksasa. Ia tersenyum.
Di Karama, ada bangunan tempat petugas imigrasi mengecek semua orang yang hendak masuk ke wilayah Irak. Pemegang paspor Israel atau yang memiliki stempel Israel dilarang masuk, demikian bunyi peraturan imigrasi Irak di zaman Saddam.
Seisi bangunan itu, termasuk jam dinding dan ranjang, habis dijarah Ali Baba.
Ali Baba memang tidak punya tank, apalagi pesawat pengebom B2. Mereka hanya membawa truk atau mobil kap terbuka. Agar tak diserang tentara AS, kendaraan mereka dihiasi bendera putih. Misi Ali Baba sama dari hari ke hari: menjarah semua barang berharga di kantor‑kantor pemerintah di seluruh Irak, tak terkecuali di pos perbatasan itu.
Tentara AS, penguasa de facto di Irak, membiarkan saja para penggarong itu beraksi. Di beberapa tempat, bahkan, tentara AS terkesan membuka jalan bagi Ali Baba, kaum penjarah.
Dengan tank, tentara AS mendobrak pintu pagar kantor‑kantor pemerintah, termasuk Istana Utama Saddam Hussein dan rumah kediamannya. Selanjutnya, Ali Baba dengan leluasa menjarah barang apa saja: kursi, meja, AC, heater (pemanas), bahkan wastafel.
Fenomena penjarahan besar‑besaran ala Peristiwa Mei 1998 di Jakarta itu menjadi pemandangan sehari‑hari ketika itu.
Kaum penggarong itu disebut warga setempat sebagai Ali Baba, tokoh sejarah yang berwatak buruk.
Antara Ali Baba dan AS saling memanfaatkan. Ali Baba, yang umumnya dari kaum miskin, melakukan penjarahan lebih banyak karena motif ekonomi. Beberapa motif politik memang kelihatan juga, manakala Ali Baba menjarah kantor‑kantor kedutaan Barat pro AS. Namun motif ekonominya lebih kelihatan, terutama di wilayah luar Baghdad.
Bagi AS, penjarahan itu dimanfaatkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat Irak memang membenci Saddam.
Rakyat menjarah kantor pemerintah sebagai simbol protes politik. Fenomena lain yang ingin ditunjukkan adalah bahwa Saddam menyengsarakan rakyatnya. Bahwa Saddam menjerumuskan rakyatnya ke jurang kemiskinan.
Ali Baba berbeda dari milisi, meski sama-sama memegang senjata api sebagaimana mayoritas warga Irak. Bedanya, milisi memiliki tujuan politis --kendati, terkadang mereka juga merampok. Sedangkan Ali Baba hanya merampok atau menjarah.
Cukup banyak warga asing menjadi korban milisi ataupun Ali Baba. Karena mesin hukum tidak berjalan, maka korban demi korban terus berjatuhan, entah pelakunya Ali Baba atau milisi.
Semoga Meutya dan Budianto aman-aman saja dan sehat walafiat. Amin! ***
No comments:
Post a Comment