Kaki lima setelah perang
MUHAMMAD Hasim tidak sabaran lagi keluar rumah. Ia sudah cukup lama bersembunyi bersama istri dan dua orang anaknya. Perang sudah selesai, saat Amerika mulai berhasil melumpuhkan perlawanan rejim Saddam Hussein. Memang, perlawanan sporadis masih berlangsung di beberapa tempat, tapi praktis, setidaknya untuk sementara, Saddam sudah selesai.
Dengan membawa Mustafa, anak pertamanya yang berusia tujuh tahun, pagi-pagi Hasim berangkat ke supermaket di kawasan Karrada. Ia membeli 20-an kaleng Pepsi, minuman khas Amerika, dan sekardus orange. Di depan ruko yang belum dibuka pemiliknya, ia menggelar jualan bermodalkan sobekan kardus sebagai tempat duduk.
"Sebenarnya saya bekerja di restoran. Tapi restorannya belum buka, sementara saya harus segera mencari uang untuk menghidupi keluarga saya," tuturnya.
Perang yang berlangsung sebulan amat meletihkan. Lebih dari itu, menguras isi tabungan sebagian besar keluarga di Irak. Selama perang, praktis gaji tidak dibayarkan. Pada saat yang sama, rejim Saddam tidak lagi membagikan bahan makanan gratis untuk orang-orang miskin seperti Hasim.
Saat perang, keluarga Irak tinggal di bunker. Sebuah ruangan bawah tanah yang gelap gulita sejak Amerika menghancurkan jaringan listrik. Shalah Madi, seorang sopir mobil penumpang jeep GMC, bercerita, lebih 20 hari ia bersembunyi di bunker dekat rumahnya bersama istri, ibu, dan empat orang anaknya. Tiap kali ledakan bom terdengar, "Kami berteriak Allahu Akbar, Allahu Akbar".
Perang sudah selesai. Tapi masalah belum selesai. Justru sedang dimulai. "Listrik masih padam sampai sekarang. Tanpa listrik, kami tidak memompa air. Sementara air bersih dari instalansi pemerintah tidak lagi menetes sama sekali," tutur Hasim.
Kota Baghdad berangsur normal. Pedagang kaki lima mulai berani menggelar dagangan di tepi jalan, di tengah kekhawatiran dirampok atau dijarah.
Saat Hasim menjual, seorang anak muda berpakaian hitam dengan muka yang kusut karena belum mandi sekian hari, mencoba mendekat. Saat anak muda itu melihat seseorang membawa sawarma (makan khas Arab berupa roti dan daging ayam campur tomat segar), ia tidak segan-segan memintanya. "Saya lapar," kata dia, sambil membungkuk.
Hasim hanya manggut-manggut. Raut wajahnya menunjukkan rasa pedih yang mendalam. Kepedihan orang-orang yang tidak berdaya. Dengan suara pelan, ia berkata: "Perang ini menyengsarakan rakyat Irak. Kami tidak tahu kapan Irak akan benar-benar aman. Tapi kami rindu kehidupan normal seperti bangsa-bangsa lainnya di dunia."
***
DI halaman Palestine Hotel, lima orang tentara AS mengelilingi Husamaddin. Anak muda 23 tahun itu duduk jongkok di tepi sebuah tembok. Ia tidak sedang menghamba, melainkan mengipas teka, sate kambing khas Baghdad.
Inilah "warung kaki lima" pertama yang muncul di Palestine Hotel sejak 9 Maret ketika tentara AS menduduki Baghdad. Penjual teka itu muncul pada hari ketujuh pendudukan.
Pada hari pertama, Husamaddin, seorang lelaki tinggi langsing dengan kumis tipis, menggelar dagangan bersama kakaknya, Ahmad, 38. Teka terbuat dari daging kambing, mirip sate kambing di Indonesia. Tusuk sate Baghdad adalah besi putih mengkilat, bukan bambu (karena di negeri gurun ini, bambu adalah barang langka). Ditaburi bubuk garam sebelum dibakar, teka dimakan dengan selembar roti bakar warna cokelat, bawang Bombay (sekarang kota di India itu bernama Mumbay) warna putih, tomat Irak yang berwarna kemerahan, dan daun srei warna hijau segar.
Husamuddin membawa sepotong paha kambing. Lalat-lalat hijau mengerubungi daging itu, tapi tidak ada yang peduli. Jualan Husamuddin laris dalam tempo singkat, sekitar satu jam. Maklumlah, ribuan orang yang menginap di Palestine Hotel dan Sheraton Hotel tidak mendapatkan makanan di restoran hotel bintang lima yang hanya buka pada jam-jam tertentu.
Satu paket teka dijual satu dolar, cukup murah dibanding makanan hotel satu porsi yang dilego lima dolar. Pembeli membentuk antrian cukup panjang.
Saat pembeli sedang asyik menyantap teka, berlomba dengan lalat, rentetan tembakan terdengar sore itu, 15 April, tak jauh dari Palestine Hotel. Disusul kemudian dengan bunyi dentuman bom, satu kali, dua kali, tiga kali. Orang-orang sudah terbiasa mendengar dentuman bom dan Husamuddin tetap saja membakar satenya. Ia tidak peduli. Urat kagetnya telah putus.
Sersan Wiesar dan Sersan Lemay, anggota marinir AS, dengan tergopoh-gopoh mendatangi penjual teka. Rupanya, lezatnya teka Husamuddin telah beredar dari mulut ke mulut.
"Finish," tutur Husamuddin kepada dua tentara itu. Wajah Wiesar dan Lemay terlihat kecewa. "Oh my God," terdengar Wiesar berkata, sambil balik kanan, pergi.
Tidak lama kemudian, datang lagi Sersan Frescar. Ia pun harus kecewa. Stok daging Husamuddin telah habis.
"Insya Allah, saya akan datang lagi besok," tuturnya, sambil memperlihatkan lembaran-lembaran dolar dan dinar Irak yang memenuhi kantong bajunya. (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda
--Tribun Timur, Makassar
www.tribun-timur.com
Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com
No comments:
Post a Comment