Saddam pergi, Ali Baba datang
SADDAM Hussein tersenyum. Presiden Irak itu menutup kepalanya dengan kafayeh putih dihiasi renda kuning emas. Foto diri pemimpin Irak yang kini bersembunyi itu akan segera kelihatan begitu memasuki wilayah Irak dari arah Jordania. Sayang, sejak Jumat (12/4) pagi, pintu masuk ke teritori Irak itu tidak lagi dijaga pasukan Pengawal Republik. Pos penting itu sudah dikuasai tentara berpakaian loreng cokelat muda, tentara AS.
Masuk ke bagian dalam tampak sebuah kompleks perkantoran. Foto-foto Saddam Hussein yang tersenyum atau yang mengangkat tangan kanannya belum dirusaki. Layaknya kantor perbatasan, ada kantor imigrasi dan ruang tamu VIP khusus untuk para pejabat. Di wilayah ini, hanya terpaut sekitar 50 meter dari pintu masuk yang dijaga tentara AS, muncul penguasa baru: Ali Baba.
Ali Baba tidak punya tank, apalagi pesawat pengebom B2. Mereka hanya membawa truk atau mobil kap terbuka. Agar tak diserang tentara AS, kendaraan mereka dihiasi bendera putih. Misi Ali Baba sama dari hari ke hari: menjarah semua barang berharga di kantor-kantor pemerintah di seluruh Irak, tak terkecuali di pos perbatasan itu.
Tentara AS, penguasa de facto di Irak saat ini, membiarkan saja para penggarong itu beraksi. Di beberapa tempat, bahkan, tentara AS terkesan membuka jalan bagi Ali Baba, kaum penjarah. Dengan tank, tentara AS mendobrak pintu pagar kantor-kantor pemerintah, termasuk Istana Utama Saddam Hussein dan rumah kediamannya. Selanjutnya, Ali Baba dengan leluasa menjarah barang apa saja: kursi, meja, AC, heater (pemanas), bahkan wastafel.
Fenomena penjarahan besar-besaran ala Peristiwa Mei 1998 di Jakarta kini menjadi pemandangan sehari-hari di Baghdad. Kaum penggarong itu disebut warga setempat sebagai Ali Baba, tokoh sejarah yang berwatak buruk.
Antara Ali Baba dan AS saling memanfaatkan. Ali Baba, yang umumnya dari kaum miskin, melakukan penjarahan lebih banyak karena motif ekonomi. Beberapa motif politik memang kelihatan juga, manakala Ali Baba menjarah kantor-kantor kedutaan Barat pro AS. Namun motif ekonominya lebih kelihatan, terutama di wilayah luar Baghdad.
Bagi AS, penjarahan itu dimanfaatkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa rakyat Irak memang membenci Saddam. Rakyat menjarah kantor pemerintah sebagai simbol protes politik. Fenomena lain yang ingin ditunjukkan adalah bahwa Saddam menyengsarakan rakyatnya. Bahwa Saddam menjerumuskan rakyatnya ke jurang kemiskinan.
Tapi, menariknya, kaum Ali Baba itu hanya menjarah. Di kompleks perkantoran di perbatasan, misalnya, simbol-simbol Saddam sama sekali tidak disentuh. Foto-foto berukuran besar tidak dirusak. Demikian pula patung Saddam.
Di kota Baghdad, gambar Saddam masih nampak di mana-mana. Beberapa memang dirusak, dibakar, atau dilempari batu. Atau ditendang kepalanya. Namun, Saddam masih masih tampak dimana-mana. Pemimpin Irak sejak 1979 itu konon memiliki enam juta foto dan patung di seantero Baghdad. Hanya sebagian kecil saja yang dirusak massa.
***
FOTO atau patung tidak punya otoritas. Kekuasaan Saddam praktis tidak terasa lagi di seantero Irak. Sepanjang jalan hampir 1.000 km dari perbatasan Irak-Jordania ke Baghdad, tidak terlihat lagi pegawai, polisi, atau tentara Irak. Kantor-kantor pemerintah kosong melompong. Pegawainya tidak ada, barang inventarisnya pun melayang.
Beberapa ruas jalan dipasangi barikade dari timbunan pasir gurun. Di situlah Ali Baba berpos. Mobil harus berjalan berkelok, pelan. Mereka, yang bersenjata, tiba-tiba muncul dari balik bukit. Dengan senjata api di tangan kanan. Mereka tak segan-segan merampok wartawan asing.
Di Baghdad, hampir semua kantor pemerintah yang penting telah diluluhlantahkan oleh bom. Istana Utama Saddam dan rumah dinasnya bahkan sudah menjadi markas tentara AS. Kantor polisi dan pengadilan tutup. Tidak ada hukum, kecuali hukum rimba.
Di jalan-jalan, tidak ada polisi lalulintas. Jalanan sepi dari tentara Irak. Tak nampak warga yang memakai pakaian pegawai negeri. Rakyat bebas berteriak memaki Saddam, menonjok posternya yang selama 24 tahun diagung-agungkan, atau melambaikan tangan ke arah tentara Amerika.
Baghdad seperti kota tak bertuan. Tentara AS hanya mengendalikan perlawanan rakyat dan tentara. Sementara urusan warga sipil diabaikan. Listrik dan telepon dibiarkan mati. Ibu-ibu rumah tangga kini kesulitan mencari gas untuk memasak. Bahan makanan sulit diperoleh. Sebagian besar warung dan toko tutup, takut dijarah Ali Baba.
Pada titik-titik di luar jangkauan tentara AS, kaum Ali Baba berkuasa penuh, bebas melakukan apa saja. Di wilayah tanpa hukum dan tentara itu, berkuasa pula para milisi.
Warga yang tinggal di kawasan pemukiman memasang perintang di mulut-mulut gang. Mereka tidak mau dirampok Ali Baba.
Ali Baba bergerak leluasa, tanpa ada yang mau menghentikan. Tentara AS membiarkannya, sementara milisi tidak mau bertempur melawan saudara mereka sendiri.
Walhasil, Ali Baba, yang terkadang membawa senjata api saat melakukan aksi penjarahan, leluasa melakukan kejahatan.
Rumah sakit tak luput dari sasaran aksi Ali Baba. Rumah Sakit Yarmuk, misalnya, lumpuh total, setelah kasur dan tempat tidur pasien dijarah. Sekitar 1.000 pasien rumah sakit terbesar kedua di Baghdad itu terpaksa dialihkan ke Al Khaer Emergency Hospital dan RS Baghdad. Nasib serupa menimpa RS Al Kindi.
“Irak sekarang menjadi negara tanpa hukum,” kata dr Imad Ali Salaum, doker di RS Yarmuk yang menempuh perjalanan 70 km setiap hari dari rumahnya di Iskandaria City menuju Baghdad.
RS Yarmuk, yang beberapa kali dihantam rudal Tomahawk AS, setelah penjarahan itu kini dijaga Muhammad, seorang anak muda 18 tahun. Dia membawa senjata AK 47, tanpa perlu merasa takut ditangkap tentara AS atau rejim Saddam.
“Bagaimana kami bisa mengamankan rumah sakit ini,” sahut dr Raad Kayat. “Kami kan harus mengamankan keluarga kami dari kejahatan Ali Baba,” pria gemuk dengan badan yang agak pendek itu menambahkan, sembari menunjukkan bekas-bekas pengeboman di bagian belakang kantornya.
Di kantor kedutaan Indonesia, tak jauh dari pasar Karada, pos polisi di depan kantor itu tak berpenghuni. Walid, staf lokal KBRI asal Irak, terpaksa berperan sekaligus sebagai penjaga kantor. Ia melengkapi dirinya dengan dua senjata AK 47.
Pernah sekali, kantor bercat putih itu hendak dijamah Ali Baba. Walid, pria yang ramah dan cukup lancar berbicara dalam bahasa Indonesia, mengeluarkan senjata dan penjarah itu pun kabur.
Saddam memang telah pergi. Rakyat Irak saat ini menghadapi penguasa baru. Selain tentara AS yang berpos di jalan-jalan strategis, lengkap dengan tank dan senjata mesin, berkuasa pula Ali Baba yang bermodalkan truk atau mobil terbuka dan bendera putih. (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com
No comments:
Post a Comment