Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Siang di flat, malam di bunker

22 Maret 2003

Siang di flat, malam di bunker

ASSAD Khalid, bersama istri, seorang putri dan seorang putranya keluar dari bunker ketika fajar menjelang. Pada malam hari, keluarga sederhana itu kembali ke tempat persembunyian di sebuah bunker yang terletak di bawah flat.

Sejak Amerika menyerang Baghdad, Assad tak pernah keluar rumah. Mereka tinggal di lantai tiga apartemen sederhana, yang disubsidi pemerintah.

Kendati pria berusia 67 tahun itu hanya seorang tukang cat bangunan, ia beruntung tinggal di sebuah flat di kawasan pusat pemerintahan Irak, sekitar 400 meter dari Istana Saddam Hussein.

Jumat (21/2) malam sekitar pukul 09.00 rasanya seperti neraka. Lima enam kali ledakan bom besar terdengar. “Terasa sangat dekat,” katanya ketika ia dihubungi Abu Assad alias Khosin, anaknya yang berusia 30 tahun yang bekerja sebagai pramusaji Al Habaib, restoran Irak di kawasan Balad City, Amman.

Seperti kehidupan rakyat Irak lainnya yang menikmati subsidi pemerintah, Assad memiliki satu line telepon di apartemennya. Melalui telepon itulah, ia berbicara dengan Khosin dalam percakapan penuh suasana haru selama 20 menit, percakapan pertama sejak Amerika menebarkan bom maut di kota Baghdad.

“Terima kasih, Anda telah meminjami handphone,” tuturnya, seusai berbicara dengan ayahnya, dengan wajah yang terlihat murung.

Dari ayahnya Khosin mendapat informasi, keluarganya berlindung di sebuah bunker yang terletak persis di bawah flat berlantai tiga. Di tempat perlindungan itu, ada 400 orang lainnya, sebagian besar wanita dan anak-anak.

Assad mengaku mendengar suara histeris yang menyayat hati, berkali-kali, setiap terjadi ledakan besar. Kemudian ia tahu, ledakan besar itu berasal dari Istana Saddam Hussein, yang dibombardir pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat (AS). Menurut Assad, sekitar 300 orang warga sipil yang tinggal di flat dekat Istana Saddam menderita luka-luka dan terbakar, delapan meninggal.

Di dalam bunker, Assad seperti tinggal di neraka. Hanya lampu penerangan seperlunya, tanpa telepon, tanpa televisi. Orang-orang itu tidur di lantai beralas kasur dengan selimut-selimut tebal. Komunikasi dengan dunia luar benar-benar terputus. Setiap kali terdengar ledakan, mereka hanya berdoa dan berdoa. Maut setiap saat mengintai ketika serangan dahsyat itu diluncurkan.

Assad tentu saja tidak mengerti apa yang dikatakan Presiden Bush bahwa serangan militer ke Irak dimaksudkan untuk “memerdekakan rakyat Irak.” Bagi Assad, serangan itu tidak lain dari malaikat buta pencabut nyawa, yang siap menghentikan kehidupan siapa saja, tak peduli tentara, tak penduli Saddam Hussein, tak peduli wanita dan anak-anak.

***

HERANNYA, Saad dan sebagian besar rakyat Irak memilih mati di tanah airnya. Gelombang pengungsi dari Irak yang diperkirakan mencapai lebih dua juta orang, baik ke Iran, Suriah, maupun Jordania, justru belum terjadi sejauh ini. Kamp-kamp pengungsi UNHCR masih kosong belaka.

Sebaliknya, rakyat Irak di luar negeri berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya. Di Karama Border, perbatasan Jordania-Irak, tercatat lebih 500 warga Irak yang melintasi perbatasan selama perang berlangsung.

“Keluarga saya sudah hidup di Irak puluhan tahun. Kamu orang Indonesia, apakah kamu akan meninggalkan negaramu, meninggalkan saudara-saudaramu, pada saat perang,” tanya Khosin, anak muda yang terpaksa meninggalkan hobi main bolanya karena harus bekerja di restoran “from ten to ten” (dari jam 10 pagi hingga jam 10 malam).

Seorang pengusaha yang mengungsi ke Amman, ditanya soal ini, menjawab, “Memang sulit. Saya meninggalkan anak dan istri saya di Baghdad. Tapi mungkin akan segera kembali ke sana.” Ia ditemui Jumat malam setelah menyaksikan siaran super eksklusif Al Jazeerah yang menayangkan bom-bom maut menyinari kota Baghdad di malam yang gelap.

Menolak disebutkan namanya, pria gemuk itu mengatakan, rakyat Irak sudah cukup menderita. Pada perang delapan tahun melawan Iran, katanya, “Hampir setiap keluarga memiliki anggota keluarga yang cacat. Apakah ayah atau anak-anak. Ini membuat semua orang Irak trauma.”

“Kami ingin seperti rakyat di negara lain, yang menikmati kehidupan normal, pergi ke pasar, berlibur, dan menikmati pendidikan yang baik. Rakyat Irak merindukan kehidupan yang normal,” tuturnya.

Ali, seorang resepsionis Shatha Petra Suites di kawasan Um Uthainah, menyaksikan perang dengan perasan bangga dan khawatir. Ia bangga, karena ayahnya termasuk pejuang sipil yang masuk ke Irak untuk berjihad. Tapi Ali, pemuda ganteng berusia 25 tahun, mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.

Fuad, seorang satpam di suites yang terletak tak jauh dari KBRI, juga ingin berjihad, namun kesulitan karena sebagai pemegang paspor Jordania, kerajaan menutup pintu jihad.

Dan, ia berkata, “Saya ingin Saddam menyerang Israel.” Fuad yang tinggi kurus dan menggemari pemain bola Zinedine Zidane mewakili perasaan dendam dua bangsa yang bermusuhan dengan Amerika: ayahnya seorang Palestina dan ibunya seorang Irak.

Munir tampak sedih ketika ditemui di Mahata, terminal bus jurusan Amman-Baghdad. Tidak seperti orang tua yang akan segera berkumpul dengan keluarganya (seorang istri dan dua orang anak), rona ceria hilang dari wajah pria asal Basra itu.

“Saya ingin berkumpul bersama keluarga saya. Saya ingin mati bersama mereka,” ujarnya, yang baru tiga bulan mencari kerja di Amman. Sebagai Muslim shiah, ia tidak mau berjihad mendukung rejim Saddam. Satu-satunya impian pria 53 tahun ini hanyalah ingin mati bersama sanak saudaranya di Basra.

“Kehidupan kami sangat sulit. Tapi insya Allah, Allah akan menolong kami,” tuturnya, yang menyebutkan kecelakan helikopter pasukan sekutu sebagai “campur tangan Allah” dalam perang Irak.

Rakyat Irak seperti Munir atau Saad sepertinya memang tinggal mengharapkan pertolongan Tuhan, sembari pada malam hari bersembunyi di bunker. (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)



* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...