Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Si kecil, yang tumbuh bersama dendam

Si kecil, yang tumbuh bersama dendam

ANAK kecil itu mengaku bernama Muhammad. Tatapan matanya tajam, setajam mata elang. Dia terpaku mendengarkan nyanyian Irak dalam sebuah perenungan sederhana di aula kantor Partai Rakyat Demokratik Jordania di Shemiesani, Amman, Minggu (30/1) malam.

Diiringi gambus dan gendang rebana, orang-orang itu bernyanyi, bertepuk tangan -suatu nyanyian yang sebenarnya bukan nyanyian. Mereka menangis meratapi nasib anak-anak Irak yang kehilangan batok kepala, orang tua yang tewas mengenaskan, dan anak muda yang mati kekurangan darah. Bom-bom "pintar" Amerika telah mencabut nyawa mereka untuk apa yang dikampanyekan Presiden Bush nun jauh di Washington sana sebagai "Iraqi liberation".

Di dinding ruang tamu PRD-nya Jordania ini, beberapa poster anak kecil seperti Muhammad dipampang di dinding. Seorang bocah tampak memegang ketapel untuk melawan tentara Israel yang menggenggam senjata otomotatis. Seorang lainnya melemparkan batu ke arah tank militer.

Mereka anak-anak Palestina. Perang Palestina (yang dibantu negara-negara Arab) telah rampung dengan kemenangan Israel sejak tahun 1948, 55 tahun silam.

Tapi anak-anak Palestina itu, dengan sebuah batu, melawan tentara Israel yang dikenal sebagai yang paling kuat di kawasan Timur Tengah. Bahkan seluruh negara Arab berkumpul menjadi satu pun tidak pernah mengalahkan tentara zionis. Apalagi cuma anak kecil yang bersenjatakan sebiji batu.

Perasaan dendam yang turun temurun telah menggerakan anak-anak ingusan itu melawan mesin perang yang canggih. Mereka melawan hanya untuk melawan, jauh dari mimpi indah meraih kemenangan. Mereka puas dengan melawan. Melawan adalah mimpi setiap anak Palestina.

Itulah pula yang ada di dalam benak Muhammad, yang menghadiri acara "Musik untuk Irak" bersama ibunya yang memakai jilbab putih. Tangan kanan anak kecil berambut ikal itu memegang selembaran kertas warna putih, dengan gambar-gambar hitam putih: seorang anak Irak yang menangis, seorang anak yang otaknya hancur berantakan karena bom "pintar" AS, seorang anak muda yang kehilangan kaki, seorang manusia yang bermandikan darah.

"Do you want to kill Iraqi children? Go on and buy American products!" Begitulah bunyi gugatan pada bagian bawah gambar selebaran itu. Di tulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, kampanye simpatik untuk anak-anak Irak itu mencoba mengingatkan semua orang: pada setiap sen uang yang Anda gunakan untuk membeli barang-barang Amerika, secuil diantaranya barangkali digunakan untuk anggaran militer memerangi Irak, membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua tak berdosa.

***

CRIS, begitu pemuda tinggi langsing ini memperkenalkan diri. Dia hadir dalam acara yang diikuti 30-an orang, termasuk para aktivis human shields yang baru pulang dari Baghdad. Beberapa kali ke Jakarta, termasuk ke Jogja dan Bali (sebelum bom melululantahkan Padi Club), Cris adalah wartawan freelance untuk koran di kampung halamannya, Kanada. Ia berpos di Bangkok. Setelah AS menggempur Irak, ia terbang ke Amman. Seperti 1.700 wartawan asing lainnya yang kini berpos di Amman, ia berharap bisa mendapatkan visa ke Baghdad.

Bagi Cris, tragedi kemanusiaan di Irak bukan semata urusan umat Islam. Tidak, terlampau sempit, kata dia. Kekejaman "bom pintar" AS, yang ternyata cukup banyak menghantam pemukiman sipil dan pasar rakyat yang sibuk, menggetarkan perasaan kemanusiaan semua orang, apapun agamanya.

Di Jordania sendiri, isu Irak bukan monopoli umat Islam. Pastor-pastor berdoa di gereja, sambil menyalakan lilin perdamaian. Gereja Kelahiran Yesus di Bethlehem melarang Bush, Rumsfeld, Blair, dan Straw memasuki gereja itu karena "kejahatan terhadap kemanusiaan" di Irak.

Para aktivis human shields yang melancarkan aksi anti perang semua non Muslim. Mereka datang dari Inggris, Amerika, Kanada, Korea, Jepang, Spanyol, Italia atau Perancis. Tidak ada yang datang dari negara Islam.

Beatriz Almandoz, wanita berambut ikal asal Spanyol, yang mengabdikan diri untuk kegiatan anti perang adalah seorang pengusaha bar di Barcelona. Ia meninggalkan dunia malam, yang penuh minuman alkohol dan cekikikan wanita nakal, dan berangkat ke Irak, negara Muslim. "Saya prihatin melihat wanita dan anak-anak menjadi korban perang," ujarnya dalam bahasa Inggris yang kurang lancar.

Rekannya, Antoinette McCormick, 38, asal New Jersey, AS, adalah veteran Perang Teluk. Ia meninggalkan korps militer seusai perang dan menjadi pelayan toko di Yorkshire, Inggris, sebelum bergabung dengan Truth Justice Peace (TJP), organisasi yang mengorganisir pemberangkatan human shields ke Baghdad. TJP berbasis di London, negerinya Tony Blair.

Jurgen Mahnel seorang Jerman. Ia sopir truk dan aktivis perdamaian. Mahnel adalah pendiri sebuah stasiun radio beraliran bebas di negaranya serta anggota Society Culture of Peace. Pria 40 tahun itu dua kali ke Irak, dan terakhir bertahan di Baghdad sampai hari ke-9 perang.

Cukup banyak orang seperti Almandoz, McCormick atau Mahnel yang kini berkeliaran di Jordania, mengabdikan diri untuk kegiatan kemanusiaan bagi rakyat Irak. Ada Sarah (begitu ia memperkenalkan diri), seorang wanita 30-an tahun asal Wales. Wanita ramah ini pernah ke Medan mengabdikan diri dalam kegiatan sosial membantu anak-anak jalanan. Ia datang ke Jordania dan berharap dapat membantu pengungsi Irak, harapan yang sampai kini belum terwujud karena rakyat Irak memilih mati di tanah airnya ketimbang melarikan diri sebagai pengecut.

***

KENEKATAN Bush melancarkan agresi militer tanpa dukungan PBB dan masyarakat internasional memang telah mengubah segalanya. Kaum Muslim shiah, yang tadinya membenci Saddam yang sunni, berbalik mendukung Saddam, setidaknya Irak, dan melawan AS. Ulama shiah di Lebanon menyerukan jihad. Iran, negara shiah, yang berperang melawan tentara Saddam selama delapan tahun, menolak mendukung pemerintahan baru bentukan AS pasca Saddam. Dan, di luar dugaan AS, kaum shiah di Irak selatan, setelah muncul fatwa jihad dari pemimpin shiah Irak, Ayatullah Husein Sadr, mengangkat senjata bersama saudara-saudara mereka yang sunni mengusir "sang liberator".

Kalangan terdidik Arab tadinya membenci Saddam. Bagaimanapun, pemimpin yang berkuasa sejak 1979 dan gemar berperang itu bukanlah pemimpin yang sempurna. Saddam kehilangan simpati di Arab ketika memerangi negara Islam seperti Iran dan Kuwait.

Namun, semuanya kini berubah dalam tempo singkat. Serangan AS ke Irak telah membangun citra baru Saddam sebagai "pahlawan" bangsa Arab. Saddam melawan AS di tengah ketidakmampuan para pemimpin Arab lainnya berkata tidak kepada Amerika.

"Dia suka berperang, bahkan memerangi sesama Islam. Dia menyerang Iran dan Kuwait," kata Saad Muhammad, 63, ayah delapan anak dan lima cucu, bekas sopir bus maskapai penerbangan Royal Jordanian yang kini menjadi sopir taksi di Amman.

"Saya tidak suka Kuwait, mereka kikir. Saya juga Sunni, tidak mendukung Iran (yang shiah). Tapi ketika Iran dan Kuwait diserang Saddam, saya bersimpati kepada mereka. Sekarang, saya bersimpati kepada Saddam. Dialah satu-satunya pemimpin yang menjaga kehormatan bangsa Arab," katanya dengan nada emosional, dan menambahkan, "Kalau saya melihat orang Amerika, Inggris, dan Australia, saya akan membacok mereka dengan pisau. Saya ingin mati sahid."

Apa yang dikatakan Saad mewakili perasaan kemarahan Arab streets, rakyat Arab kebanyakan yang tak berdaya menghadapi sistem totalitarianisme negara. Sekarang ini, perasaan anti Amerika begitu luas. Seruan jihad dikumandangkan hampir dalam setiap kesempatan: melalui siaran radio, televisi, ataupun lewat demonstrasi. Khutbah Jumat di masjid-masjid pun mulai diwarnai seruan jihad, sesuatu yang sebenarnya dilarang pemerintahan totaliter negara-negara Arab. Persis bagaimana Soeharto, dulu, melarang khutbah “keras” di masjid-masjid.

Kendati begitu, ada pula yang berpandangan lain. Hani Yahya, misalnya, tidak menimpakan kesalahan kepada bangsa Amerika. "Amerika bagus. Musik, sekolah, film, semuanya bagus. Yang jahat adalah Bush," ujar Yahya, 30, yang mengaku doyan Kentucky Fried Chicken (KFC).

Kedai KFC di kawasan Shemiesani, tidak jauh dari pusat kota, tetap ramai seperti biasanya. Wanita-wanita muda datang bersama pasangannya, memilih tempat di pojokkan, sambil menyantap ayam goreng dan meminum Pepsi. Keluarga-keluarga Muslim, yang datang ke kedai bersama anak-anak mereka, juga masih terlihat di warung Amerika itu.

Hanya tayangan televisi di kedai itu saja yang berubah. Tadinya, pengelola menyajikan musik barat dengan menyetel keras-keras musik non stop dari Melody Hits atau MBC. Kini, sambil menyantap ayam goreng Kentucky, layar televisi menyanjikan laporan dari medan perang, dengan suara televisi yang disetel keras-keras. Stasiun favorit di jaman perang ini adalah Al Jazeera, Al Arabiya, atau Abu Dhabi TV. Stasiun televisi berita itu menggeser mata acara hiburan yang kebarat-baratan ala Melody Hits, Dream, dan MBC.

***

DI MEDAN perang, tentara, milisi, dan rakyat Irak memberikan perlawanan sengit terhadap pasukan AS dan Inggris. Opini publik di Arab saat ini cenderung percaya, perang akan berlangsung dalam tempo yang lama, tidak seperti dibayangkan AS sebelumnya.

Sejauh ini, pasukan sekutu yang didukung berbagai peralatan tempur modern baru mampu menyentuh ring luar garis pertahanan Saddam Hussein. Tentara AS dan Inggris belum mampu menguasai Basra, apalagi Baghdad. Ini menunjukkan, taktik perang Saddam lumayan ciamik. Ia mampu membendung, setidaknya menunda, kemenangan pasukan sekutu.

"Pasukan darat AS saat ini baru berada di ring ketiga, bertempur dengan fidayi Saddam. Mereka belum mampu menembus ring dua yang dibentengi Pengawal Republik (Republican Guard) dan ring satu yang dijaga pasukan khusus Pengawal Republik," ungkap seorang diplomat di Amman.

Pasukan Pengawal Republik berkekuatan sekitar 145.000 personil. Sedangkan pasukan khususnya, yang lebih terlatih dan menikmati gaji yang lebih tinggi, diperkuat 15.000 tentara yang amat loyal pada Saddam.

Pasukan itulah yang membentengi Baghdad. Saddam diperkirakan bersembunyi di dalam ring satu, yang dikawal pasukan khusus Pengawal Republik. Sebelum pasukan sekutu berhasil menembus ring keramat itu, mereka harus melangkahi dulu mayat pasukan Pengawal Republik. Seluruh pengamanan Baghdad, yang dibentengi pasukan Pengawal Republik dan pasukan khusus Pengawal Republik, ditangani Qusay, putra Saddam Hussein.

Di luar tentara tangguh itu, rejim Saddam juga membangun berbagai milisi. Diantaranya tentara Al Quds, fidayi Saddam, dan milisi Partai Baath. Belum termasuk Ansar Al Islam, milisi yang disebut AS memiliki kaitan dengan Al Qaeda. Total kekuatan seluruh milisi, termasuk rakyat yang dipersenjatai, diperkirakan sekitar tujuh juta orang.

Milisi tersebut, yang bertebaran di berbagai kota penting di seluruh Irak, bekerjasama dengan tentara dan rakyat sipil, bahu membahu menghadang pasukan darat AS. Mereka mampu memberikan perlawanan dahsyat, dengan taktik perang non konvensional, sesuatu yang sebelumnya tidak dibayangkan para perencana militer AS.

"Walaupun kita melihat perlawanan Irak yang luar biasa, itu belum menunjukkan kekuataan Irak yang sebenarnya," ujar diplomat tersebut, yang mengaku sering mendiskusikan perkembangan perang dengan sesama diplomat lainnya, termasuk dengan para diplomat dari negara-negara Asean.

Seorang diplomat yang pernah bertugas di Baghdad mengungkapkan, Saddam telah mempersiapkan negerinya menghadapi gempuran AS. Jauh sebelum perang, Baghdad mengirim para perencana militer andalnya ke Vietnam untuk mempelajari taktik perang gerilya.

Baghdad, kota tua bekas pusat peradaban Islam, dirancang Saddam menjadi kota perang. Instalasi militer dibangun di kawasan yang tidak boleh diserang pada saat perang: rumah sakit, sekolah, dan pemukiman sipil.

Taktik perang gerilya, yang diwarnai serangan hit and run, tampak diperagakan tentara dan milisi Irak. "Mereka tidak menghadang Amerika sekaligus, tapi menyerang lalu mundur, sekaligus untuk memancing pertempuran dalam kota, dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, bahkan dari kamar ke kamar," tuturnya. Seperti nampak dalam pertempuran di Basra, kota terbesar kedua di Irak, tentara AS dan Inggris berusaha menghindari perang kota.

AS kelihatannya salah menghitung. Mereka mengira, begitu serangan "shock and awe" lewat udara dimulai, tentara Irak akan menyerah, menolak perintah Saddam, kaum shiah dan Kurdi memberontak, dan rakyat sipil menyambut tentara Amerika dengan bunga.

Rupanya, sebaliknya yang terjadi. Rakyat Irak, bersama tentara dan milisi, yang memandang AS bukan sebagai liberator, sang pembebas, tapi sebagai penindas, menyambut tentara AS dan Inggris dengan peluru. Bahkan dengan serangan bunuh diri.

***

SEMAKIN lama perang berlangsung, semakin banyak pula simpati dan dukungan kepada Irak. Serangan "sembrono" AS yang meminta nyawa korban sipil tak berdosa membangkitkan semangat jihad bangsa Arab. Hal itu mendorong kelompok yang tadinya moderat menjadi radikal.

Berbagai ulama terkemuka, mulai dari Lebanon, Mesir, Suriah, hingga Irak sendiri telah mengumandangkan perang jihad dan serangan bunuh diri melawan AS dan Inggris. Diperkirakan, arus pasukan jihad akan mengalir melalui negara tetangga yang pro Irak, seperti Suriah dan Iran.

Jalur Suriah akan menjadi pintu masuk yang ideal bagi relawan dari negara-negara Arab seperti Mesir, Yaman, dan Libanon. Sementara Iran bakal menjadi tempat tansit yang ideal bagi mujahidin dari Asia, seperti Pakistan dan Afganistan.

Pemerintah Irak sendiri kini telah membuka pintu jihad. Wakil Presiden Taha Yassin Ramadan mengatakan "saya memanggil rakyat Arab" untuk melancarkan perang jihad melawan Amerika dan bergabung dengan fidayi Saddam, pasukan bunuh diri untuk Saddam.

"Ribuan relawan dan fidayi (aktivis bunuh diri) datang ke Irak dan relawan lainnya akan datang dalam hari-hari mendatang," katanya. "Irak menyambut relawan tersebut dan menawarkan kesempatan kepada mereka untuk ikut dalam medan pertempuran."

Washington mulai mencium gelagat buruk ini. Pagi-pagi, Menhan Rumsfeld telah menuduh Suriah dan Iran membantu Irak. Tuduhan itu dapat diartikan sebagai peringatan dini, karena kedua negara itu bukan mustahil tidak hanya menjadi jalur masuk pasukan jihad, melainkan juga senjata dan peralatan militer lain.

Seorang diplomat mengatakan, perang yang berkepanjang akan semakin menyulitkan AS. Sebab, negara-negara anti perang, terutama Rusia dan Perancis, tidak akan tinggal diam.

"Suatu saat, kita akan mendengar peralatan militer Rusia dan Perancis digunakan tentara Irak," katanya. Ini merupakan gejala yang biasa semasa Perang Dingin. Amerika, misalnya menyuplai senjata ke Afganistan ketika Soviet menginvasi negara itu.

Bila perang berkepanjangan, AS kemungkinan akan mengubah sasaran dari semula menguasai Baghdad menjadi cukup menguasai Irak utara dan selatan. Kedua wilayah itu kaya minyak, sementara Irak tengah (termasuk Baghdad) tidak memiliki sumber daya alam sama sekali.

Skenario lainnya, AS tetap berusaha, dengan segala cara menguasai Baghdad dan menjatuhkan rejim Saddam Hussein. Andaipun target ini tercapai, Irak belum tentu aman. Karena tentara dan rakyat yang sudah terlanjur membenci AS akan terus melancarkan perang gerilya.

Kemungkinan ini besar peluangnya, karena Irak tidak memiliki Hamid Karzai-nya Afganistan, figur kuat yang diterima rakyat. Para pemimpin oposisi, yang umumnya membangun perlawanan dari luar negeri, tidak mengakar di masyarakat.

Apapun skenarionya, rakyat Irak sudah terlanjur sakit. Anak-anak kecil seperti Muhammad terlanjur tumbuh bersama dendam membara. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...