Ask the Tribun Timur Editor
Tiga orang anak Makassar mendekam di penjara. Tuduhannya serius, memerkosa seorang anak. Si korban kemudian ditemukan tewas di sumur. Tapi, Mahkamah Agung menyatakan, tiga orang terpidana tidak bersalah.
Dalam berita Tribun Timur edisi Kamis, 4 September 2008, ketiga korban mengaku disiksa polisi agar mengaku sebagai pemerkosa.
Itu dia: cara-cara lama memburu pengakuan korban kembali menelan korban tidak bersalah.
Kamis, 04-09-2008
Terpidana Pemerkosa Mengaku Disiksa Polisi
Saat Diperiksa di Polrestas Makassar Timur; Lanjutan Kasus MA Bebaskan Terpidana Pemerkosa di Antang; Terpidana Mengaku Ditampar Sampau Disulut Puntung Rokok; Kejaksaan Masih Tunggu Salinan Putusan MA
Makassar, Tribun - Tiga terpidana kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah Syifa Salwani Elok (4) di Antang, Makassar, Juli 2007, terpaksa mengaku sebagai pelaku kejahatan tersebut karena mendapat siksaan saat diperiksa polisi di Mapolresta Makassar Timur.
Ketiga terpidana tersebut, Ibrahim Tutu (19), Hamka (15), dan Sudirman Yusuf alias Sudi (16), mengungkapkan hal tersebut saat ditemui secara terpisah di Rumah Tahanan Rutan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Makassar di Jl Sultan Alauddin, Rabu (3/9).
"Polisi yang memeriksa melakukan kekerasan. Kalau soal tamparan dan pukulan, kami beberapa kali merasakan. Belum lagi dimasukkan ke dalam kamar mandi lalu disiksa dengan tendangan," kata Ibrahim yang dibenarkan Hamka dan Sudirman.
Mahkaman Agung (MA) RI menilai ketiga terdakwa tidak bersalah sehingga harus dibebaskan. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Makassar, Ibrahim divonis 13 tahun penjara sedangkan Hamka dan Yusuf divonis sama, enam tahun penjara.
Namun dalam perkara banding di Pengadilan Tinggi (PT) Sulselbar, hukuman Hamka dan Yusuf justru bertambah menjadi 12 tahun sedangkan Ibrahim tetap divonis sama, 13 tahun.
Hingga tadi malam, ketiga napi tersebut masih mendekam di tahanan. Ibrahim dan Yusuf dtahan di sel Rutan Makassar sedangkan Hamka mendekam di lapas.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Makassar, Isa Ansary, mengatakan, ketiga napi tersebut tidak akan dibebaskan sebelum kejaksaan menerima putusan MA yang dikirim langsung ke kejari.
"Soal eksekusi pembebasan, itu soal gampang. Begitu kami terima surat dari MA, maka kita bisa langsung membebaskan mereka. Sekarang ini kami baru mendapat foto kopi putusan dari keluarga terpidana," katanya.
Masih Ingat
Ketiga terpidana masih ingat dengan penyiksaan yang mereka alami meski kejadiannya sudah berselang satu tahun.
Mereka bahkan menyebut beberapa nama polisi di Polresta Makassar Timur yang menyiksanya. "Tidak usah ditulis namanya. Tapi polisi itulah itu yang paling keras menyiksa kami," kata Ibrahim sambil menyebut nama seorang bintara di Polresta Makassar yang bertugas saat itu.
Setelah menjalani siksaan, mereka pun diminta menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa diberi kesempatan membaca.
"Malah Hamka sempat disulut puntung rokok di beberapa bagian tangannya," kata Ibrahim.
Hamka pun memperlihatkan beberapa bekas luka bakar yang masih membekas di kedua tangannya. Dia juga mengaku sempat beberapa kali dipukul.
Masih Ditahan
Hingga kemarin, ketiganya masih mendekam di sel tahanan meski MA sudah menurunkan putusan kasasi yang membebaskan mereka.
MA menggelar sidang kasasi, 31 Juli lalu.
Putusan MA itu juga memutuskan membatalkan putusan PT Sulsel tertanggal 4 Januari lalu yang menguatkan putusan PN Makssar tertanggal 23 November 2007 tentang hukuman para terdakwa.
Hakim agung yang memutuskan membebaskan ketiga terdakwa adalah Iskandar Kamil (ketua), Prof Dr Komariah Emong Sapardja, dan Prof Dr Kaimuddin Salle MH.
Kaimuddin adalah Guru Besar Fakultas Hukum Unhas yang menjadi hakim agung dari jalur nonkarier.
Dari petikan putusan MA yang diperlihatkan kepada wartawan oleh petugas di Rutan Makassar, diketahui ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Atas putusan MA itu, keluarga para terpidana merasa yakin Kepolisian Resor Kota (Polresta) Makassar Timur telah salah menangkap terpidana kasus tersebut.
Bukan hanya kepolisian, keluarga terpidana juga menyalahkan dakwaan jaksa penuntut umum yang juga keliru sehingga hakim pun keliru menjatuhkan putusannya.
Sebelumnya, majelis hakim PN Makassar berpendapat bahwa ketiganya terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan secara bersama-sama terhadap korban Syifa. Majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut terdiri dari I Gede Suarsana, Indracahya, dan Leniwati.
Salah satu pertimbangan perbedaan vonis terhadap para tersangka tersebut adalah dengan pertimbangan Ibrahim dinilai telah tergolong orang dewasa atau usianya lebih 18 tahun.
Sedangkan dua terdakwa lainnya yakni Sudirman dan Hamka masih tergolong anak-anak atau usianya belum genap 18 tahun.
Sedangkan jaksa penuntut umum kasus tersebut adalah Bambang, jaksa Kejari Makassar. Sementara anggota Polresta Makassar Timur yang menyidik kasus tersebut adalah Ishak, Mansur, dan Hasanuddin.
Salinan putusan MA terkait kasus itu yang ditembuskan kepada Kepala Rutan Makassar Chaerul Setiawan, kemarin.
Namun pihak rutan belum bisa membebaskan terdakwa sebelum ada surat perintah eksekusi dari Kejari Makassar sebagai pihak penuntut tiga terpidana dimaksud.
"Kalau sudah ada surat perintah untuk mengeksekusi terpidana dari Kejari Makassar, pasti dibebaskan. Itu kan haknya terpidana," jelas M Ilyas, staf registrasi Rutan Makassar yang ditemui di ruang kerjanya, kemarin.
Kajari Makassar
Kajari Makassar mengakui sudah ditemui oleh pengacara para terpidana dan memperlihatkan petikan putusan MA terkait kasus tersebut.
"Namun kita belum bisa penuhi permintaannya untuk dilakukan eksekusi karena kita masih menunggu surat putusan langsung dari MA," jelas Isa.
Salinan putusan MA secara lengkap itu diakui penting untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menyatakan ketiga terpidana tak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana didakwakan kepadanya.
Hakim
Berbeda dengan Isa, dua hakim yang juga majelis hakim yang mengadili ketiga terpidana saat masih disidang di PN Makassar menyatakan petikan putusan MA sudah bisa dijadikan dasar untuk dilakukan eksekusi atau membebaskan terpidana.
"Petikan putusan MA yang dikirim itu tujuannya agar proses eksekusi bisa sesegera mungkin dilakukan. Kalau misalnya kejaksaan sebagai penuntut kasus itu kemudian menyatakan akan menempuh PK (peninjauan kembali), tidak menghalangi proses eksekusi," jelas I Gede Suarsana yang dibenarkan oleh Indracahya yang ditemui di PN Makassar, kemarin.
I Gede juga menjabat Humas PN Makassar. Keduanya mengakui sudah membaca petikan putusan MA tersebut.
BERITA TERKAIT
* Sudah Hibahkan Pakaian
No comments:
Post a Comment