Tuesday, December 30, 2008

Diskusi di Warung Kopi, Ilham, dan Kapolda

Ask the Tribun Timur Editor
BARUSAN saya menjadi pembicara dalam diskusi akhir tahun radio Mercurius FM di Warkop Phoenam, Jl Boulevard, Makassar. Nama lengkap acaranya, ”Obrolan Akhir Tahun Sang Tokoh 2008 dalam Pandangan Media”.
Saya mendapatkan SMS dan telepon setelah diskusi itu. Saya tergelitik untuk memposting ini agar meletakan apa yang saya katakan pada konteksnya.

Acara dihadiri 20-an orang, antara lain, aktivis mahasiswa, aktivis politik, dan aktivis LSM, serta wartawan. Merkurius menyiarkan secara langsung jalannya diskusi.
Menjadi pembicara dalam diskusi di Merkurius bukan baru kali ini. Karena itu, beberapa teman di Merkurius sudah sangat akrab. Maka ketika ditawari menjadi pembicara, seperti biasa, saya bertanya latar belakang mengapa topik itu dipilih.
Saya mendapatkan penjelasan bahwa ada dua tokoh yang mendapatkan penghargaan dari media massa. Satu, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (yang terpilih lagi menjadi wali kota, namun belum dilantik), dan satunya lagi Kapolda Sulsel Sisno Adiwinoto.
Ilham mendapatkan penghargaan dari majalah Tempo, sedangkan Sisno dari koran Ujungpandang Express yang terbit di Makassar.
Pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah Mukramal Azis (Sindo), Hidayat Nahwi Rasul (pengamat komunikasi dari Unhas), dan Dr Hasrullah (pengamat dan dosen komunikasi Unhas). Diskusi dipandu Reihan dari Merkurius.
Reihan memberikan kesempatan pertama kepada saya untuk berbicara. Saya memulai diskusi dengan mempertanyakan parameter yang digunakan untuk penghargaan tersebut.
Ilham mendapatkan penghargaan karena dianggap inovatif, kreatif, dan memiliki kepemimpinan yang kuat dalam membangun Makassar. Di situ, reklamasi Pantai Losari dan revitalisasi Lapangan Karebosi mendapatkan perhatian dari Tempo sebagai aspek-aspek yang dipertimbangkan untuk memberikan penghargaan kepada Ilham.
Reklamasi Pantai Losari dan revitalisasi Karebosi merupakan obsesi Ilham untuk memberikan kebanggan kepada Makassar. Ia membangun ikon kota. Protes berdatangan dari berbagai kalangan, tapi Ilham tetap dengan visi besarnya membangun Makassar.
Kendati demikian, Ilham bukannya tanpa kelemahan. Saya menyebutkan masalah sampah. Makassar seperti tidak diurus karena setiap hari sampah berserakan di tepi-tepi jalan.
Masalah transportasi kota juga menjadi soal yang strategis. Sekitar 12 ribu petepete (angkutan kota) beroperasi dalam kota. Sekitar 2.000 sampai 3.000 motor setiap bulan menjadi pengguna baru jalan-jalan Makassar. Sementara, dealer mobil di Makassar mampu memasarkan 500-an unit mobil setiap bulan.
Tanpa antisipasi yang baik terhadap masalah transportasi kota tersebut, Makassar akan terjebak pada sindrom metropolitan seperti Jakarta. Kota ini akan macet. Sekarang saja, rata-rata kecepatan mobil dalam kota tinggal 30-40 kilometer per jam.
Masalah bertambah karena kampus-kampus besar berada di jalan poros dalam kota. Demonstrasi di tengah jalan yang hampir setiap hari membuat kota ini tidak nyaman.
Akhirnya, saya mengatakan, tidak ada tokoh yang sepenuhnya mendapatkan dukungan masyarakat. Obama di AS tidak menang 100 persen. Demikian pula Ilham dalam Pilkada Makassar.
Catatan yang kedua soal pemberian penghargaan kepada Kapolda Sulsel. Ada dua persoalan dengan kapolda. Pertama, (mantan) koresponden Metro TV Upi Asmaradana (Upi) dijadikan tersangka hanya karena menggelar demonstrasi memprotes pernyataan kapolda. Upi, yang didukung beberapa rekannya dari AJI dan wartawan lain di Makassar, melancarkan protes karena kapolda dianggap mengancam kebebasan pers dan melakukan kriminalisasi terhadap pers. Atas apa yang dilakukan Upi, polisi memeriksanya, dan menjadikannya sebagai tersangka. Kasusnya sedang dilimpahkan ke kejaksaan.
Menurut saya, penghargaan diberikan untuk mengkampanyekan nilai-nilai ideal, nilai-nilai yang luhur di masyarakat. Saya mempertanyakan, nilai-nilai ideal apa yang hendak dikampanyekan ketika salah satu koran di Makassar memberikan penghargaan kepada kapolda.
Buat saya, sikap lembaga kepolisian yang menjadikan wartawan sebagai tersangka hanya karena berbeda pendapat dengan kapolda merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan pers. Ini membahayakan kebebasan pers.
Padahal, kebebasan pers adalah instrumen masyarakat untuk dua hal. Pertama, kebebasan mengemukakan pendapat secara bebas. Kedua, kebebasan mendapatkan informasi. Jadi, siapapun yang mengancam kebebasan pers sesungguhnya mengancam masyarakat. Itu berbahaya.
Kedua, polisi bentrok dengan mahasiswa Unhas. Seorang mahasiswa, Febrianto, harus menjalani operasi di kaki dan hidung karena dianiaya oknum polisi.
Itulah masalahnya. Itulah yang mendorong saya mempertanyakan, nilai ideal apa yang hendak dikampanyekan ke masyarakat dengan memberikan penghargaan kepada kapolda.
***
Pada sesi tanya jawab, ada penelepon yang melihat dari sisi lain. Si penelepon mengatakan, kapolda pantas mendapatkan penghargaan. Alasannya, mahasiswa seringkali menggelar demonstrasi. Dalam demonstrasi itu, mereka menutup jalan raya, menyusahkan pengguna jalan. Polisi sudah benar dalam menjalankan tugasnya.
Soal pemidanaan wartawan, si penelepon mengatakan, sudah tepat. Menurutnya, wartawan tidak bisa kebal hukum. Dia warga negara biasa, yang harus mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum.
Si penelepon juga mengatakan, ada banyak wartawan yang berkeliaran melakukan tindakan tidak terpuji seperti melakukan pemerasan.
Pandangan si penelepon ada benarnya juga. Beberapa SMS yang masuk ke Tribun Timur, terutama terkait dengan bentrokan mahasiswa vs polisi di Unhas, juga mengatakan hal yang senada. Itu juga dimuat di Tribun Timur.
Saya menyatakan hal yang sama. Sebelum insiden di Unhas, polisi bertindak berani dengan bertindak tegas terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi dengan menutup jalan. Masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya ini. Bagaimanapun, demonstrasi mahasiswa di Makassar seringkali menyusahkan pengguna jalan, membuat kemacetan berjam-jam.
Tapi, saya katakan, apa yang terjadi di Unhas adalah soal yang berbeda. Memang, mula-mula polisi terlihat mengamankan arus lalulintas. Mahasiswa juga tidak benar ketika mereka melempari polisi dengan batu. Bahkan ada mahasiswa yang melempari polisi dengan bambu panjang pada aksi sehari sebelumnya, seperti ditunjukan dengan foto master di halaman depan Tribun Timur.
Yang kemudian terjadi adalah polisi terpancing dan bertindak melebihi batas kewajaran. Puluhan oknum polisi, yang dilengkapi tameng, memasuki kampus Unhas, mengejar mahasiswa. Beberapa di antara mereka melakukan tindakan kekerasan melampuai batas. Salah satu korbannya adalah Febrianto. Kakinya dan hidungnya terpaksa dioperasi.


Sumber: tribun-timur.com

Sepulang dari diskusi di Merkurius, saya buka tribun-timur.com. Berita mengenai diskusi sudah dimuat dan saya minta agar diedit dengan mempertimbangkan aspek wisdom.

Selasa, 30-12-2008 | 13:02:05

Pimpred Tribun Pertanyakan Gelar Tokoh oleh Media

Laporan: Mansur AM. surtribun@yahoo.com

Makassar, Tribun - Pemimpin redaksi (Pimpred) Tribun Timur, Dahlan, mempertanyakan parameter yang digunakan media memberikan gelar "tokoh" kepada figur tertentu.
"Saya mengawali diskusi ini dengan mempertanyakan parameter gelar tokoh," kata Dahlan. Ia memberi contoh pemberian gelar tokoh kepada pejabat kepolisian dan mantan wali kota di Sulsel.

"Pemberian penghargaan merupakan alat untuk meneguhkan nilai-nilai ideal dalam masyarakat. Dalam konteks pejabat polisi yang mendapatkan penghargaan, nilai apa yang hendak diteguhkan ketika pejabat polisi itu mendapatkan penghargaan, padahal ada kasus kekerasan oleh polisi di Unhas dan kasus pemidanaan wartawan hanya karena perbedaan pendapat," katanya.

Dahlan menegaskan, pemidanaan terhadap wartawan hanya karena perbedaan pendapat merupakan ancaman terhadap terhadap kebebasan pers. Ancaman terhadap kebebasan pers, kata Dahlan, pada dasarnya adalah ancaman terhadap masyarakat.

"Kebebasan pers merupakan alat bagi masyarakat mengekspresikan pendapatnya secara bebas dan alat bagi masyarakat mendapatkan informasi secara bebas," kata Dahlan.

Dahlan memberikan apresiasi terhadap kepolisian yang berani mengambil tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakat ketika mahasiswa menggelar demonstrasi di jalan dan memacetkan arus lalulintas. Tapi, apa yang terjadi di Unhas tidak hanya mengamankan arus lalulintas. Oknum polisi bertindak lebih jauh dengan melakukan kekerasan kepada mahasiswa di luar batas kewajaran.

Terhadap penghargaan untuk mantan wali kota, Dahlan mengatakan, dapat dipahami dari sisi inovasi, kreativitas, dan kepemimpinan, tetapi sulit dipahami dari sisi pengelolaan kota secara keseluruhan.

"Bagaimana memelihara kota ini, siapa yang mengurus? Sampah ada di mana-mana berserakan di pinggir jalan. TNI membersihkan jalan, lalu pemkot apa yang dikerja," ujarnya.

Dahlan menjadi pembicara pertama dari tiga nara sumber, Mukramal Azis (Sindo), Hidayat Nahwi Rasul (pengamat), dan Dr Hasrullah (pengamat). Diskusi akhir tahun Mercurius FM digelar di Warkop Phoenam, Jl Boulevard, Makassar. (*)


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...