Ask the Tribun Timur Editor
TAMU datang ke kantor Tribun Timur, Makassar, tadi malam. Seorang birokrat senior di salah satu kabupaten. Sebagai birokrat senior, dia sudah berumur. Dan ini yang penting: dia calon bupati.
Visi, seperti biasa, bagus. Meniti karier dari birokrat terendah, ia menganalisa masalah, menyampaikan solusi, dengan bahasa rakyat. Jauh dari kesan akademis.
Tibalah pada soal yang penting, yang mendorong saya menulis. Dia menyatakan akan mengelola pemerintahan secara transparan. Karena itu ia akan membuka kotak saran agar warga bisa menyampaikan saran dan kontrol lewat kotak pos itu.
Sepertinya calon bupati ini membayangkan bahwa rakyatnya akan membuang-buang waktu ke kantor pos hanya sekadar menyampaikan sebuah saran.
Atau bersusah payah mengarungi kota yang macet, yang hiruk pikuk, yang tidak beraturan, untuk mencapai kantor bupati demi menemui kotak saran.
Saya lihat tanggal. Ketika itu 19 April 2010. Saya kaget bahwa di zaman sekarang ini masih ada pemimpin yang berbicara tentang kotak pos. Saya kira, era itu sudah lama lewat, kantor pos sudah jadi museum, dan kotak pos telah jadi tempat sampah.
Sekarang tidak perlu lagi ke luar rumah sejengkal pun untuk menyampaikan pesan. Bahkan bisa dari kamar toilet. Fasilitas komunikasi sudah jauh lebih praktis dan murah: SMS, telepon, YM, Facebook, Twitter, Plurk, dan lain-lain.
Sulit sekali membayangkan rakyat pergi ke kantor pos atau ke kantor bupati demi sebaris saran. Sama sulitnya membayangkan Pak Bupati membaca satu demi satu surat yang masuk ke kotak saran (kalaulah masih ada surat yang masuk).
Saya cek lagi tanggal. Benar, 19 April 2010. Zaman sudah berubah, pemimpin belum berubah, pemerintahan belum berubah. Zaman sudah di sana tapi pemimpin masih di sini, cara memerintah masih di sini.
Halo Pak Hermawan (Kartajaya). Saya ingin meminjam kerangka analisis 3C untuk melihat bentangan masalah secara sederhana: company, customer, competitor.
Kita bawa ke pemerintah. Company menjadi pemerintah, customer menjadi rakyat, dan competitor menjadi lembaga nonpemerintah (NGO).
Customer sudah jauh berlari berkat teknologi informasi. Pengguna Facebook kebanyakan di usia 13-34 tahun. Pak calon bupati itu berusia jauh di atas itu. Masuk akal kalau dia masih berbicara tentang kotak saran untuk menggantikan fungsi Facebook atau YM atau SMS.
Internet users ini datang dengan habit baru, aspirasi baru, kebutuhan baru yang lebih praktis, simple, efisien. Datang ke kantor pos atau ke kotak saran sama sekali tidak lagi masuk akal. Sama tidak masuk akalnya ikut kursus mesin tik.
Bagaimana dengan lembaga nonpemerintah? LSM? Sebagian sudah berubah, sebagian lainnya masih sama dengan Pak Bupati. Pengelola LSM sebagian datang dari sisa-sisa zaman kejayaan kotak saran.
Sisa-sisa itu sebentar lagi akan punah. Mungkin 5 atau 10 tahun lagi. Potretlah mereka sekarang. Abadikan mereka. Sebentar lagi mereka akan menjadi barang langka, persis seperti uang koin di era Soekarno.
Yang terjadi kemudian adalah internet users, generasi baru, berhadapan dengan organisasi lama yang tradisi dan cara berpikirnya masih terjebak di kotak saran.
Itulah mengapa pemerintahan kita ini tidak lagi masuk akal untuk mereka yang berusia 13-34 tahun. Pemerintahan ini bukan lagi untuk mereka.
Sedihnya adalah: bila lembaga swasta akan punah karena tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan gaya hidup customer, pemerintah tidak. Pemerintah akan tetap ada selama rakyat masih membayar pajak. Selama hasil bumi belum habis. Selama rakyat masih mau diperintah --kendati dengan cara yang aneh oleh orang-orang aneh.
(*)
No comments:
Post a Comment