Saturday, November 17, 2012

Nikmat Iman di Tanah Suci

Dahlan Dahi

 Catatan Wartawan Tribun, Dahlan Dahi, dari Mekah 

 TRIBUNNEWS.COM, MEKKAH - Seorang ibu muda salat di udara terbuka, disirami terik matahari 45 derajat Celcius di Padang Arafah. Kulitnya yang putih mulus terlihat memerah. Matanya terlihat sembab dengan hidung kemerahan.

 Sejurus kemudian, tangannya menengadah, seperti berdoa. Begitu khusuk sehingga ia tak peduli orang-orang di sekelilingnya. Ia bahkan tak peduli sinar matahari itu merusak kulit wajahnya yang indah.

  Di Mina, ribuan bahkan puluhan ribu orang tidur di jalanan dekat Jamarat, berbekal roti, selimut, dan tikar seadanya. 

 Sinar matahari Mekah yang terik bukan halangan bagi mereka--kakek, nenek, anak muda, serta bapak paruh baya--mengejar kenikmatan iman kepada Allah. Iman kepada Allah. 

Rasanya itulah yang bisa menjelaskan bagaimana sekitar tiga juta orang dari berbagai belahan dunia berkumpul di Masjidil Haram, Padang Arafah, dan Mina untuk menunaikan ibadah haji. 

Mereka datang dengan biaya sendiri, berdesak-desakan, antre berjam-jam di kamar mandi, tidur beralas tikar, mandi peluh serta meninggalkan keluarga dan pekerjaan duniawi setidaknya lebih dari dua pekan untuk suatu keyakinan. 

Rasanya tidak ada agama--apalagi keyakinan duniawi--selain agama Islam yang bisa menggerakkan begitu banyak orang untuk datang ke suatu tempat, memohon ampunan dosa dan meminta pertolongan Tuhan. Saya menyaksikan semua itu dengan takjub, seperti tak percaya. Tapi apa yang saya saksikan benar-benar nyata. 

Lima hari bergulat dengan ujian ketahanan fisik dan kesabaran untuk menjalankan wukuf, mabit, dan melontar jumrah. Orang-orang meninggal, tergeletak di jalanan, menangis karena menemukan jalur hubungan spritual, dan bergerak tanpa mengenal lelah siang maupun malam demi memenuhi rukun dan kewajiban haji. 

 ***

 DENGAN pakaian ihram, kami bergerak bersama jamaah ONH Plus lainnya ke Padang Arafah untuk wukuf, Rabu (24/10/2012) sekitar pukul 21.00 malam. Sebagian jamaah harus berdiri, menempuh perjalanan sekitar tiga jam, karena tak kebagian tempat duduk dalam bus yang disiapkan pemerintah Arab Saudi. 

 Di padang yang dikelilingi gunung berbatu itu, jamaah menginap di tenda-tenda. Karena haji plus (maksudnya biayanya lebih mahal dari jamaah reguler), tenda kami dilengkapi pendingin udara, matras yang cukup tebal untuk tidur, plus selimut. Makanan, buah-buahan, teh, kopi, dan aneka soft drink tersedia 24 jam. 

Semua seperti baik-baik saja kecuali urusan kamar mandi dan toilet. Anda bebas makan dan minum apa saja tapi ingat toilet. Hanya tersedia beberapa toilet yang bau menusuk hidung untuk belasan ribu jamaah. 

Pagi hari adalah waktu yang berat. Untuk urusan buang air besar atau mandi, Anda harus antre berjam-jam. 

Ada yang membawa kursi ke depan pintu toilet karena kaki pegal berdiri. Beberapa orang sedang “menikmati” buang hajat ketika pintu toilet digedor oleh pengantre yang tidak sabaran. Urusan buang hajat tidak bisa ditawar, tidak demikian dengan mandi. 

Banyak jamaah memilih tidak mandi. Ini tambahannya: selama berpakaian ihram, jamaah tidak boleh menggunakan bahan mandi yang wangi. Lengkap sudah. Tidak sikat gigi. Kalaupun mandi tidak pakai sabun. 

Keringat dan peluh berbaur. Pada saat wukuf (setelah dzuhur hingga matahari terbenam), Padang Arafah menjadi lautan tangis. Jamaah menangis ketika berdoa memohon ampunan dan pertolongan Allah. Ini seperti konser air mata. 

Tapi air mata itu menetes, bahkan mengalir, bukan karena sedih melainkan karena nikmatnya berhubungan dengan Allah. Ketika air mata kenikmatan spritual yang mengalir, suasana hati terasa tenang, damai, dan indah. 

***

 UJIAN sesungguhnya dimulai dari perjalanan menuju Muzdalifah dan Mina. Sekitar tiga juta jamaah bergerak serentak dengan ratusan bus. Kemacetan parah tidak bisa dihindari. 

Rombongan kami--termasuk lima sampai enam orang tua--harus berjalan kaki lebih satu kilometer di malam hari, di tengah bising suara bus dan asap knalpot, untuk menjangkau bus yang menghindari kemacetan parah. 

Semula bus berjalan lancar. Muzdalifah yang hanya berjarak sekitar sembilan kilometer rasanya hanya urusan beberapa menit saja. Seperti sudah diduga, kemacetan parah benar-benar terjadi. Bus berhenti total sekitar pukul 23.00 malam. 

Tidak bisa bergerak sama sekali. Macet total. Jarak Muzdalifah masih sekitar tujuh kilometer lagi. Setelah menunggu sejam mobil tak bisa bergerak sama sekali, sebagian jamaah menggelar tikar di tepi jalan untuk meluruskan punggung. 

Sebagian lagi, termasuk kakek-kakek dan nenek, sebagian berkursi roda, nekat berjalan kaki. Rombongan pejalan kaki itu membawa ransel, menarik tas, membawa selimut, dan aneka perlengkapan. 

Beberapa orang tua terlihat berjalan terpincang-pincang tapi tetap saja dengan penuh semangat menuju Muzdalifah untuk mengambil kerikil sebagai bekal nanti melontar jumrah di Mina. Kami tiba di Muzdalifah pada subuh hari atau setelah menempuh perjalanan sekitar delapan jam. 

Sepanjang perjalanan tidak ada toilet. Ibu-ibu yang kebelet pipis terpaksa duduk di tepi jalan. Untuk urusan ini, laki-laki lebih gampang. 

Dari Muzdalifah, sebagian rombongan kami berjalan kaki menuju perkemahan di Mina. Jaraknya sekitar 12 kilometer. Dengan berjalan kaki, perjalanan ditempuh sekitar 5,5 jam! 

 Rombongan yang naik bus baru tiba di Mina siang hari atau setelah lebih 12 jam duduk di dalam bus. 

Dalam perjalanan inilah, seorang jamaah asal Banjarmasin, Ibu Indah, meninggal dunia karena serangan stroke. Ibu Indah yang sudah tua seperti berniat meninggal di Tanah Suci. 

Kondisi tubuhnya rapuh karena usia tapi ia ke Mekkah sama sekali tak didampingi seorang pun anggota keluarganya. 

Tiba di Mina, rombongan berjalan kaki ke maktab Indonesia. Suhu sekitar 45 derajat Celcius. Udara kering dan panas. Kami menarik tas dan berjalan kaki lebih satu kilometer. Dua anggota rombongan yang sudah berumur berjalan terpincang-pincang di tengah terik matahari yang panas. 

Satu dari nenek itu bernama Ibu Aisyah, jamaah asal Samarinda. Ibu ini luar biasa. Dua hari dua malam hanya minum air putih tapi tetap kuat mengelilingi Kabah tujuh putaran (sekitar tiga kilometer) di tengah terik matahari Mekkah serta melakukan Sa'i tujuh putaran juga (sekitar dua kilometer). 

Di Mina, sekitar tiga juta jamaah berkumpul untuk melontar jumrah. Di mana-mana mata memandang terpampang lautan manusia, tua-muda, anak-anak, laki-perempuan, serta kakek-nenek. Gema takbir Allaahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar mengiringi langkah mereka. 

Dalam suasana spiritual seperti itu, letih menjadi nikmat. 

Laporan ini dimuat di Tribunnews.com, tribun-timur.com, Tribun Timur edisi cetak


Laporan Haji dan Umroh 





 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...