Tuesday, July 1, 2008

Bila A Sung dari Patunuang Jadi Pemandu di Shenzhen


A Sung, pemandu wisata kelahiran Makassar, di Shenzhen, Cina.


melancong ke cina

Bila A Sung dari Patunuang Jadi Pemandu di Shenzhen


Laporan

Wartawan Tribun Timur,

Dahlan,

dari Shenzhen,

Cina


BAHASA Indonesia A Sung –begitu ia memperkenalkan diri-- cukup lancar, tapi seringkali kacau. Ia menyebut lantai dengan “rantai”. Katanya lewat pengeras suara di dalam bus, “Nanti kita dinner (makan malam) di rantai dua, ya.”

Naik sepeda atau duduk sepeda? Buat A Sung, pemandu wisata di salah satu kota terbesar di Cina, Shenzhen, bukan “naik sepeda” yang benar melainkan “duduk sepeda”.

“Tahun 1960-an, orang-orang Cina menjadikan Shenzhen sebagai tempat favorit menyeberang ke Hongkong. Waktu itu Cina masih miskin. Mereka datang dengan jalan kaki berhari-hari atau duduk sepeda menuju Shenzhen, melintasi perbatasan dengan berenang di sungai, lalu masuk Hongkong yang makmur untuk mencari kerja,” begitu A Sung bercerita.

“Pemerintah Cina sangat malu sehingga mengerahkan petugas untuk menjaga sepanjang sungai. Semua yang nekat melintas ditembak. Setiap pagi, banyak mayat di sungai ini,” kata ayah dua anak itu tentang Sungai Shenzhen, sungai yang lebarnya kira-kira 10 meter yang memisahkan Hongkong dengan Shenzhen di Cina daratan.

Di kiri kanan sungai tumbuh lebat pohon yang sengaja dipelihara untuk menjadi hutan kota di kawasan gedung-gedung jangkung. Sangat pas untuk berjalan mengendap-endap melewati hutan kota sebelum masuk ke wilayah Hongkong.

Beberapa kali ia mengulangi “duduk sepeda” sehingga saya yakin, yang dia maksudkan adalah apa yang kita pahami sebagai “naik sepeda”. Kadang pula ia bilang “duduk di taksi” untuk apa yang kita pahami sebagai “naik taksi”.

“Di Shenzhen sini, tidak boleh orang duduk sepeda motor. Dilarang. Motor hanya boleh di daerah minimal 80 kilometer dari pusat kota,” kata pria 48 tahun itu tentang Shenzhen yang bersih dari sepeda motor, kota yang tertib dengan pedestrian di kiri-kanan jalan yang teduh dilindungi pepohonan hijau mirip kota-kota makmur di Eropa.

Sering pula ia bilang begini: “Di sini, kalau duduk di taksi hanya boleh empat penumpang.” Ketika ia mengatakan itu, atau sesuatu yang berkaitan dengan transaksi, pria yang menyisir rambutnya selicin Harmoko ini selalu mengingatkan untuk waspada menerima uang kembalian karena di Shenzhen, uang palsu berkeliaran. Ali Baba cukup banyak di sini.


A Sung lahir di Makassar. Rumah keluarganya di Patunuang. Ayahnya merantau ke Makassar ketika berusia tujuh tahun. Kawin di Makassar, lalu memboyong keluarganya ke Shenzhen ketika Pemerintah Cina sedang gencar-gencarnya menggalang pembangunan kota yang mendapat status zona ekonomi khusus ini.

“Waktu itu saya delapan bulan. Ibu menggendong saya ke sini,” katanya. Bila mengerti dan fasih berbahasa Indonesia kendati meninggalkan Makassar saat masih bayi, itu karena, “Di rumah kami sering memakai bahasa Indonesia. Tapi saya tidak mengerti bahasa Makassar”.

Di rumahnya, A Sung belajar bahasa Indonesia, yang kelak menjadi modal utamanya --selain pengetahuan sejarah-- menjadi tour leader (pemandu wisata). A Sung tidak fasih berbahasa Inggris, sebagaimana generasi Cina yang tumbuh sebelum 30 tahun lalu. Ketika itu, Republik “Tirai Bambu” Rakyat Cina tertutup untuk pengaruh asing, termasuk bahasa.

Bahasa Inggris dilarang diajarkan di sekolah-sekolah yang seluruhnya dikontrol pemerintah. A Sung belajar bahasa Indonesia, sebagai bahasa asing di Cina, di rumah sambil bisik-bisik takut ketahuan tetangga.

Menurut A Sung, bahasa Indonesia masih merupakan bahasa favorit di rumahnya kendati keluarga itu sudah meninggalkan Makassar sekitar 48 tahun yang lalu atau hampir setengah abad yang lampau.

“Keluarga saya masih ada yang di Makassar,” katanya, tapi lupa alamat persisnya kecuali menyebut Patunuang.

***

DI Bandara Internasional Hongkong, petugas imigrasi juga mengerti bahasa Indonesia. Dia berteriak, “Tunggu….” ketika, seperti biasa, seorang Indonesia yang tidak tertib mencoba menerobos antrean.

No, I cann’t speak Indonesia but I can understand if you speak Indonesia,” kata petugas imigrasi itu, seorang wanita muda kira-kira berusia 25 tahun.

Di kawasan wisata Puncak, Jawa Barat, ada restoran yang unik: bangunannya berupa perahu dari kayu yang “berlabuh” di tepi jalan.

Restoran serupa itu ada juga di pusat kota Shenzhen. Ia dijumpai tidak jauh dari kawasan wisata Window of the World, tempat miniatur seluruh tempat dan bangunan budaya dan bersejarah dunia.

“Dulu, banyak orang Indonesia yang datang ke sini membangun usaha,” katanya tentang restoran kapal kayu.

Wajah-wajah Indonesia sangat dikenal, bahkan oleh para pedagang di Louwa, satu dari dua pusat perbelanjaan terbesar di Shenzhen.

Begitu melihat wajah-wajah Indonesia, sejumlah pedagang berteriak, “Ayo… mulah, mulah….” Mereka membujuk calon pembeli layaknya pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, yang menjadi model di banyak pasar di Indonesia.

Suasana Tanah Abang memang sangat terasa di Louwa. Anda boleh menawar serendah-rendahnya. Tawarlah sampai 70 persen. Bila pedagangnya tidak mau, pura-puralah tidak membeli. Dia akan mengejar Anda bila memang harga yang diminta memang demikianlah adanya.

Si pedagang akan marah bila barang sudah ditawar dan disetujui tapi pembeli membatalkan transaksi. Demikian itulah yang juga terasa di pasar-pasar tradisional di Indonesia. Di Shenzhen, belanja tawar menawar itu bahkan masih bertahan di pusat perbelanjaan modern.

Pada saat bertranksasi, hati-hatilah. Misalnya Anda membeli barang seharga 20 yuan (satu yuan sama dengan Rp 1.350). Si penjual akan membalikkan badan begitu menerima uang Anda, lalu merobek bagian pinggirnya. Kemudian ia bilang, “Wah, uang Anda tidak bisa diterima. Robek.”

Begitu Anda memberi uang pecahan 100 yuan, si pembeli akan menukar uang itu dengan uang palsu lalu memberi tahu Anda bahwa dia tidak punya kembalian setelah uang itu ditukar dengan uang palsu. Ia kemudian meminta uang 20 yuan yang disobek tadi, sambil berkata, “Tak apalah. No problem.” Bila si pembeli tidak waspada, ia telah telah mengantongi uang 100 yuan palsu.

Modus seperti ini, menurut A Sung, juga seringkali dijumpai tamunya ketika berbelanja di pusat perbelanjaan terbesar lainnya, yang oleh wisatawan Indonesia dikenal sebagai Pasar Malam.

***

CERITA tentang aroma Indonesia di Shenzhen dan Hongkong rasanya tidak lengkap tanpa menyebut A Sing. Tubuhnya pendek, rambut cepak dicukur rapi. Ia sangat ramah.

Bila A Sung memandu wisata di Shenzhen, A Sing di Hongkong. A Sing lahir di Aceh sebelum mencari sesuap nasi di Hongkong, salah satu kota termahal di dunia.

“Banyak orang Indonesia di Hongkong,” A Sing bercerita. Sebagian kecil menjadi pengusaha. Sebagian terbesar menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), nama yang halus untuk babu alias pembantu rumah tangga.

Di level menengah, yang biasanya diisi tenaga terdidik, sangat jarang orang Indonesia. Sekali dia kaya, ya kaya, sekali babu ya babu.

Diperkirakan, 300 ribu TKI mengadu nasib di Hongkong. Gaji mereka rata-rata Rp 4 juta sebulan, angka yang diyakini jauh lebih tinggi ketimbang gaji pembantu di Arab Saudi yang konon hanya Rp 1,5 juta sebulan. Itulah kenapa TKI di Hongkong lebih “bergaya” dibanding TKI di negara lain. Di Indonesia, gaji Rp 4 jutaan biasanya untuk kalangan manajer atau supervisor di perusahaan yang lumayan bagus.

Masalah utama TKI adalah kemampuan bahasa. Karena itu, mereka umumnya hanya bisa jadi pembantu rumah tangga.

Tidak demikian dengan tenaga kerja dari Filipina. Mereka rata-rata terbiasa dengan bahasa Inggris. Dapat dimaklumi bila jenis pekerjaan tenaga kerja dari Filipina lebih “berkelas”, seperti menjadi pelayan restoran.

Orang dengan keterampilan seperti A Sung atau A Sing, yang memiliki jaringan dengan travel di Indonesia, melakoni pekerjaan sebagai pemandu wisata. Setiap bulan ada saja satu atau dua rombongan yang terdiri atas 20-30 orang tamunya dari Indonesia.

Kebetulan, Hongkong dan Shenzhen merupakan lokasi favorit berwisata dan berbelanja di Asia bagi warga Indonesia selain Singapura dan Kualalumpur.

Afiaty, pemandu wisata dari Indonesia, memperkirakan, setiap bulan sekitar 3.000 wisatawan Indonesia berlibur ke Hongkong atau Shenzhen. Daya tariknya selain atraksi budaya adalah shopping.

A Sung dan A Sing sering jadi bahan tertawaan tamu-tamunya bila salah menggucapkan bahasa Indonesia. Toh keduanya tetap menikmati pekerjaan, berbahasa Indonesia dengan bangga, tetap bangga pernah bersentuhan dengan Indonesia, kendati “lantai” harus berbunyi “rantai”, murah lalu terdengar “mulah”, atau “naik sepeda” diubah menjadi “duduk sepeda”.***

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...