Monday, December 5, 2011

Serial Jepang yang Bukan Indonesia

Jepang yang Bukan Indonesia

Teh Hijau Tanpa Kopi

HOTEL biasanya menyiapkan kopi saset, teh, krim, dan gula di mini bar. Tidak di Jepang. Hanya ada teh, kebanyakan teh hijau. Syukur-syukur kalau Anda menemukan gula.

Ini beda sekali dengan Aceh. Di negeri Serambi Mekah ini, teh adalah barang langka. Di warung-warung kopi, Anda seperti bukan laki-laki kalau Anda memesan teh.

Setelah beberapa hari di Jepang, barulah saya menemukan restoran hotel menyajikan kopi. Itu pun tempatnya amat di pojok dan hanya mengambil tempat kira-kira 10 kali 10 sentimeter di ruangan yang luas itu.

"Anda minum kopi?" tanya pelayan restoran di Jiragon No Mori di kawasan wisata Gunung Fuji, Kawaguchi, sekitar dua setengah jam dengan bus dari Tokyo.

Pelayan itu seperti mimpi di siang bolong ada tamunya yang minum kopi. 

Teh? Oh ya, itulah andalan dia. Berbagai merek teh disajikan, dari teh biasa hingga teh hijau. Dari yang panas hingga teh dingin.

Di kamar Jiragon No Mori tidak ada kopi. Hanya ada teh hijau tanpa gula.

Hei, saya temukan kedai Starbuck di Bandara Internasional Kansai, Osaka. Beda dengan kedai Starbuck di Indonesia, warung kopi Amerika ini kecil sekali. Kursinya pun hanya beberapa saja.

Di Nagoya, saya mampir ke McD di pojok jalan dekat Meitetsu Grand Hotel. Untung sekali ada kopi hitam yang gambarnya di kertas menu terselip di antara menu-menu lainnya. 

Di kamar  Meitetsu Grand Hotel tidak ada kopi saset.

Bila Anda pecandu kopi, bawalah kopi saset ke Jepang. Ini negeri warung teh, bukan negeri sejuta warung kopi.

Saya, kok, merasa kopi itu seperti nasi bagi pengelola restoran di hotel-hotel Jepang. Mereka baru akan menyiapkan kopi, juga nasi, bila tamunya dari Indonesia.***


Jepang yang Bukan Indonesia

Orang Desa Punya Mobil, Orang Kota Naik Bus

ANDA mau terlihat seperti jutawan? Cobalah naik taksi. Dari Tokyo ke bandara, sewanya sekitar Rp 3 juta rupiah.

Mobil pribadi bukan pilihan justru di negeri produsen mobil ini. Pajaknya tinggi, sewa parkirnya pun selangit.

Maka tidak ada pilihan bagi warga kelas menengah Tokyo selain naik angkutan umum, kereta api cepat, bus kota, atau naik sepeda ontel.

Pemerintah sengaja menutup opsi mobil pribadi sebagai moda transportasi massal, salah satunya untuk mengurangi kemacetan. Sebagai gantinya, pemerintah membangun sistem kereta api dan bus kota yang nyaman dan murah. Fasilitas publik selalu dilengkapi dengan parkir sepeda.

Bukan pemandangan aneh kalau puluhan bahkan ratusan orang bergegas ke tempat kerjanya, melewati pedestrian, dan memakai jas hitam dan dasi. Jangan kira mereka salesmen seperti di Indonesia.

Tempat tinggal mereka pun sempit-sempit. Sebagai salah satu kota termahal di dunia, properti di Tokyo sangat mahal. Maka sudah umum, warga kelas menengah tinggal di apartemen yang sempit. Untuk keluarga dengan dua anak, misalnya, kamar apartemennya hanya seluas 90 meter persegi, lebih sempit dari rumah sangat serderhana di Indonesia.

Sebaliknya dengan desa. Kami ke Kawaguchi, kawasan wisata yang menjual pesona Gunung Fuji, sekitar dua setengah jam dengan bus dari Tokyo, dan menyaksikan anak-anak muda dan keluarga kelas menengah naik mobil ke minimarket 7 Eleven, mirip Alfamart di Indonesia.

Pemandangan ini sangat kontras dengan Tokyo, di mana anak-anak muda naik bus kota, berjalan kaki, atau naik sepeda ontel dengan dasi melambai-lambai ditiup angin, dan dengan jas kantoran yang membungkus tubuh mereka.

Di desa, rumah-rumah terlihat lebih luas, dua atau tiga lantai, dengan lahan depan yang lapang. Rumah-rumah di desa ini seperti rumah di kawasan perumahan elite Indonesia yang tertata rapi, lengkap dengan marka jalan dan ruangan parkir umum.

Bedanya adalah tak jauh dari kawasan perumahan tersaji hamparan sawah dan tanaman palawija yang menghijau. Ke kebun mereka naik mobil baru.***



--

TRIBUNnews.com
www.tribun-timur.com
www.tribun-medan.com

Dahlan Dahi
dahlandahi.blogspot.com
facebook.com/dahlan.dahi
twitter.com/dahlandahi

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...