Dahlan Dahi
Pengelola travel Indonesia sudah hafal
betul bagaimana menangani kelebihan bagasi. Petugas haji harus juga
mahir mengurus seluk-beluk pengiriman barang ke Indonesia, tidak
cukup hanya fasih membimbing ibadah jamaah haji.
Laporan ini dimuat di Tribunnews.com, tribun-timur.com, Tribun Timur edisi cetak
Laporan Haji dan Umroh
SEORANG pengelola ONH Plus bercerita
begini: Pedagang emas Arab terheran-heran dengan nafsu belanja orang
Indonesia. Hanya orang Indonesia yang sekali membeli emas langsung
memborong si kuning dengan nilai 200 ribu Real (sekitar Rp 50 juta).
Biasanya, jamaah haji lainnya, paling banter membeli 10 kali lipat
lebih rendah.
Memang, semangat berbelanja jamaah haji
Indonesia luar biasa. Seperti salat lima waktu. Lima kali salat lima
kali pula belanja.
Ini terutama di sekitar Masjid Nabawi
di Madina, ketika prosesi haji sudah beres. Hampir seluruh pintu ke
luar jamaah Masjid Nabawi dibanjiri pedagang kaki lima, yang
kebanyakan berasal dari Afrika.
Para pedagang itu menjual aneka barang
seperti pakaian, mainan anak-anak, tasbih, perhiasan emas palsu, dan
Al Quran. Ada juga buah-buahan.
Mereka menggelar dagangan khusus
menanti jamaah usai salat. Tak peduli terik matahari di siang hari,
tak peduli gelap di subuh hari. Pedagang dan pembeli melakukan
transaksi usai salat, dan ehem, kebanyakan pembeli adalah orang
Indonesia.
Beberapa toko di sekitar Masjid Nabawi juga buka setelah salat subuh. Tutupnya lebih lama, menanti jamaah usai salat isya.
Jamaah haji dari Eropa atau Turki dan
negara-negara Arab lainnya juga terlihat berbelanja, namun umumnya
hanya membeli barang yang terkait dengan kegiatan ibadah. Sebut
misalnya sajadah, pakaian Arab (jubah panjang), tasbih, atau sandal.
Tidak demikian dengan jamaah Indonesia.
Semua barang-barang itu juga dibeli jamaah Indonesia. Lebih dari itu,
jamaah Indonesia membeli karpet, mobil-mobilan, dan perhiasan emas
(yang asli maupun palsu). Pulpen juga diborong. Luar biasa.
Jamaah haji Indonesia setiap tahun
berjumlah lebih 200 ribu orang. Para pedagang di Madinah maupun
Mekah, yang umumnya orang Bangladesh, Pakistan, dan India, serta Arab
sudah tahu betul bahwa jamaah Indonesia merupakan pasar yang
menggiurkan. Mereka membawa uang banyak, jarang menawar, dan suka
memborong.
Karena itulah, para pedagang berusaha
keras belajar bahasa Indonesia. Mereka hafal betul kata-kata “ayo
belanja”, “gratis”, “murah”, dan seterusnya. Mereka juga
sangat paham hitungan angka-angka demi memudahkan transaksi dengan
pembeli Indonesia.
Rata-rata barang yang dijual di Mekah
dan Madina adalah buatan China seperti tasbih, kopiah, dan sajadah,
serta mainan anak-anak. Sebagian garmen dan aneka perhiasan buatan
India.
Harga barang terhitung murah. Harga
baju Muslim ala Arab misalnya hanya 20 Real (sekitar Rp 50 ribu).
Faktor harga yang murah inilah yang
mendorong jamaah ramai-ramai membeli. Hitung-hitung, daripada
membayar laundry hotel, mending beli yang baru saja.
Kebiasaan belanja jamaah Indonesia yang
gila-gilaan bukan saja menghidupkan ribuan toko dan pedagang kaki
lima di sekitar Masjid Nabawi dan Masjidil Haram.
Perusahaan kargo juga tumbuh pesat.
Maskapai penerbangan hanya memberi toleransi bagasi 25 kilogram.
Selebihnya harus bayar cukup mahal, 18 dolar Amerika Serikat per
kilo. Karena itulah, jamaah lebih senang mengirim barang ke Indonesia
melalui kargo ketimbang membayar kelebihan berat bagasi di pesawat.
Laporan ini dimuat di Tribunnews.com, tribun-timur.com, Tribun Timur edisi cetak
Laporan Haji dan Umroh
No comments:
Post a Comment