-->
Laporan Haji dan Umroh
Catatan Wartawan Tribun, Dahlan Dahi,
dari Madina
ADA dua syarat naik haji, begitulah
yang saya dengar. Uang saja tidak cukup. Banyak orang yang punya uang
tapi belum merasa perlu (atau terpanggil) untuk menunaikan rukun
Islam kelima itu.
Ada lagi satu syarat lainnya: ikhlas.
Mampu secara finansial tapi tidak ikhlas akan sulit menunaikan ibadah
haji.
Ikhlas sulit mengukurnya. Dia ada di
hati setiap orang. Ikhlas bukanlah beras yang bisa ditimbang.
Timbangan ikhlas ada di kalbu setiap orang.
Maka bila ingin naik haji, hitunglah
uangnya dan ukurlah kadar keikhlasannya. Makin ikhlas dan mampu makin
afdol ibadah haji.
Itulah inti ibadah haji. Penyerahan
diri total hanya kepada Allah. Ikhlas uangnya, ikhlas jiwanya, ikhlas
raganya.
***
HAJI dari Balikpapan, Kalimantan Timur,
ini adalah cerita yang relevan. Istrinya sudah tiga kali ke Tanah
Suci. Ia baru merasa ikhlas dan terpanggil tahun ini.
Dia adalah salah satu jamaah Tarih
Tour, perusahaan ONH Plus dikelola Haji Tawakal, pemilik Rumah Makan
Paotere di Makassar. Partnernya adalah Haji Askar, seorang Soppeng
yang dulu –seperti Tawakal-- menimba “ilmu” di eks perusahaan
ONH Plus terbesar di Indonesia, PT Tiga Utama.
Sehari-hari, pria Bugis-Sengkang ini
adalah juragan jeruk nipis di Balikpapan. Jeruk nipis dikapalkan dari
Mamuju, Sulawesi Barat, beberapa kali sepekan. Dari pelabuhan di
Balikpapan, jeruk-jeruk nipis itu masuk ke rumah-rumah warga
Kalimantan Timur melalui para pedagang eceran.
“Saya baru merasa terpanggil tahun
ini,” kata kakek beberapa cucu ini. “Setelah tiga kali istri saya
naik haji barulah saya merasa terpanggil.”
Haji adalah panggilan Allah. Karena
itulah, seorang haji datang ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan
Allah, labbaik Allahuma labbaik.
Panggilan itu ada di hati, di jiwa, di
kalbu. Ini benar-benar urusan yang sangat pribadi, urusan jiwa
manusia dengan Tuhan Sang Pencipta.
Pak Haji juragan jeruk ini tampak
sekali menikmati ibadah hajinya. Ia berjalan berkilo-kilo meter
kendati usianya sudah tidak muda lagi. Ia, misalnya, berjalan kaki
dari Musdalifah ke Mina selama 4,5 jam.
Seringkali ia jalan kaki dari Masjidil
Haram ke hotel tempat kami menginap sejauh lebih dari dua kilometer.
Ia percaya diri saja kendati hanya dua bahasa yang ia kuasai, bahasa
Indonesia dan bahasa Bugis. Tekat yang kuat –yang lahir dari
keikhlasan-- mengalahkan semua rintangan.
***
SATU jamaah lagi asal Thailand. Wanita
muda ini menikah dengan pria Bugis di Batam. Ia mualaf.
Si Bapak, yang membiayai seluruh biasa
ONH Plus, belum mendapatkan panggilan. Istrinya justru yang menikmati
panggilan Allah.
Ibu mualaf ini terlihat sangat
menikmati ibadah haji. Ketika ibu-ibu lainnya kegirangan berbelanja,
ia tampak tenang menikmati salat demi salat di Masjid Nabawi.
Ibu-ibu sampai iri betapa ibu mualaf
ini sangat menikmati prosesi ibadah haji, sejak dari Mekah, Padang
Arafah, Mina, hingga Madina.
***
SATU lagi jamaah dari Serui, Papua.
Sejak muda ia diajak keluarganya merantau ke Papua. Di sana, ia tidak
mendapatkan masjid dan guru-guru agama yang baik seperti dinikmati
saudara-saudaranya di Tanah Bugis-Makassar.
Maklumnya, perkampungan kecil di luar
Kota Serui tempat ia berjualan didominasi warga non-Muslim. Ia
seringkali kesulitan manakala hendak menunaikan ibadah salat.
Dia mengumpulan uang demi uang untuk
membiayai panggilan jiwanya ke Tanah Suci. Ia bercerita bagaimana ia
harus berlayar 6-7 jam dari Kota Serui ke perkampungannya, membawa
barang dagangan, dan mengumpulkan rupiah demi rupiah.
Tidak gampang mengumpulkan sekitar Rp
80 juta bagi pedagang seperti Abang Haji dari Serui ini. Keikhlasan
jiwa mengalahkan semua pengorbanan fisik. Jiwa selalu lebih kuat dari
raga.
Satu keluarga dari Sengkang (bapak,
ibu, anak, dan mertua) datang dari kondisi keuangan yang jauh lebih
baik. Mereka ini adalah keluarga juragan tekstil di Sengkang, Wajo,
Sulsel.
“Saya dua kali naik haji, Nak,”
katanya dengan pancaran wajah penuh syukur. Kakek beberapa cucu ini
dengan bangga bercerita bagaimana biaya haji tidak membuatnya jatuh
miskin. Malahan, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Dua
dari sekian anaknya sukses menjadi dokter.
Berbagai macam cara menuju Baitullah,
rumah Allah. Dalam rombongan kami, selain rombongan pedagang, ada
kolonel TNI Angkatan Darat, yang pernah 13 bulan makan ular ketika
bertugas di hutan Timor Leste, ada notaris, ada pengacara, ada istri
pejabat Pertamina, dan ada pula pegawai kantor pertanahan.
Kami, sekitar 69 orang, berkumpul,
menyatu seperti saudara besar yang dipersatukan oleh iman dan
semangat beribadah kepada Allah.
Saya menjalani ini semua dengan catatan
berikut: Betapa nikmatnya merasa dekat dengan Allah. Betapa nikmatnya
keikhlasan dan kesabaran.(*)
No comments:
Post a Comment