Monday, November 26, 2012

Laporan Haji: Berbagai Jalan ke Rumah Allah

Dahlan Dahi


 
-->
Catatan Wartawan Tribun, Dahlan Dahi, dari Madina


ADA dua syarat naik haji, begitulah yang saya dengar. Uang saja tidak cukup. Banyak orang yang punya uang tapi belum merasa perlu (atau terpanggil) untuk menunaikan rukun Islam kelima itu.

Ada lagi satu syarat lainnya: ikhlas. Mampu secara finansial tapi tidak ikhlas akan sulit menunaikan ibadah haji.

Ikhlas sulit mengukurnya. Dia ada di hati setiap orang. Ikhlas bukanlah beras yang bisa ditimbang. Timbangan ikhlas ada di kalbu setiap orang.

Maka bila ingin naik haji, hitunglah uangnya dan ukurlah kadar keikhlasannya. Makin ikhlas dan mampu makin afdol ibadah haji.

Itulah inti ibadah haji. Penyerahan diri total hanya kepada Allah. Ikhlas uangnya, ikhlas jiwanya, ikhlas raganya.

***
HAJI dari Balikpapan, Kalimantan Timur, ini adalah cerita yang relevan. Istrinya sudah tiga kali ke Tanah Suci. Ia baru merasa ikhlas dan terpanggil tahun ini.

Dia adalah salah satu jamaah Tarih Tour, perusahaan ONH Plus dikelola Haji Tawakal, pemilik Rumah Makan Paotere di Makassar. Partnernya adalah Haji Askar, seorang Soppeng yang dulu –seperti Tawakal-- menimba “ilmu” di eks perusahaan ONH Plus terbesar di Indonesia, PT Tiga Utama.

Sehari-hari, pria Bugis-Sengkang ini adalah juragan jeruk nipis di Balikpapan. Jeruk nipis dikapalkan dari Mamuju, Sulawesi Barat, beberapa kali sepekan. Dari pelabuhan di Balikpapan, jeruk-jeruk nipis itu masuk ke rumah-rumah warga Kalimantan Timur melalui para pedagang eceran.

“Saya baru merasa terpanggil tahun ini,” kata kakek beberapa cucu ini. “Setelah tiga kali istri saya naik haji barulah saya merasa terpanggil.”

Haji adalah panggilan Allah. Karena itulah, seorang haji datang ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan Allah, labbaik Allahuma labbaik.

Panggilan itu ada di hati, di jiwa, di kalbu. Ini benar-benar urusan yang sangat pribadi, urusan jiwa manusia dengan Tuhan Sang Pencipta.

Pak Haji juragan jeruk ini tampak sekali menikmati ibadah hajinya. Ia berjalan berkilo-kilo meter kendati usianya sudah tidak muda lagi. Ia, misalnya, berjalan kaki dari Musdalifah ke Mina selama 4,5 jam.

Seringkali ia jalan kaki dari Masjidil Haram ke hotel tempat kami menginap sejauh lebih dari dua kilometer. Ia percaya diri saja kendati hanya dua bahasa yang ia kuasai, bahasa Indonesia dan bahasa Bugis. Tekat yang kuat –yang lahir dari keikhlasan-- mengalahkan semua rintangan.

***
SATU jamaah lagi asal Thailand. Wanita muda ini menikah dengan pria Bugis di Batam. Ia mualaf.
Si Bapak, yang membiayai seluruh biasa ONH Plus, belum mendapatkan panggilan. Istrinya justru yang menikmati panggilan Allah.

Ibu mualaf ini terlihat sangat menikmati ibadah haji. Ketika ibu-ibu lainnya kegirangan berbelanja, ia tampak tenang menikmati salat demi salat di Masjid Nabawi.

Ibu-ibu sampai iri betapa ibu mualaf ini sangat menikmati prosesi ibadah haji, sejak dari Mekah, Padang Arafah, Mina, hingga Madina.

***
SATU lagi jamaah dari Serui, Papua. Sejak muda ia diajak keluarganya merantau ke Papua. Di sana, ia tidak mendapatkan masjid dan guru-guru agama yang baik seperti dinikmati saudara-saudaranya di Tanah Bugis-Makassar.

Maklumnya, perkampungan kecil di luar Kota Serui tempat ia berjualan didominasi warga non-Muslim. Ia seringkali kesulitan manakala hendak menunaikan ibadah salat.

Dia mengumpulan uang demi uang untuk membiayai panggilan jiwanya ke Tanah Suci. Ia bercerita bagaimana ia harus berlayar 6-7 jam dari Kota Serui ke perkampungannya, membawa barang dagangan, dan mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Tidak gampang mengumpulkan sekitar Rp 80 juta bagi pedagang seperti Abang Haji dari Serui ini. Keikhlasan jiwa mengalahkan semua pengorbanan fisik. Jiwa selalu lebih kuat dari raga.

Satu keluarga dari Sengkang (bapak, ibu, anak, dan mertua) datang dari kondisi keuangan yang jauh lebih baik. Mereka ini adalah keluarga juragan tekstil di Sengkang, Wajo, Sulsel.

“Saya dua kali naik haji, Nak,” katanya dengan pancaran wajah penuh syukur. Kakek beberapa cucu ini dengan bangga bercerita bagaimana biaya haji tidak membuatnya jatuh miskin. Malahan, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Dua dari sekian anaknya sukses menjadi dokter.

Berbagai macam cara menuju Baitullah, rumah Allah. Dalam rombongan kami, selain rombongan pedagang, ada kolonel TNI Angkatan Darat, yang pernah 13 bulan makan ular ketika bertugas di hutan Timor Leste, ada notaris, ada pengacara, ada istri pejabat Pertamina, dan ada pula pegawai kantor pertanahan.

Kami, sekitar 69 orang, berkumpul, menyatu seperti saudara besar yang dipersatukan oleh iman dan semangat beribadah kepada Allah.

Saya menjalani ini semua dengan catatan berikut: Betapa nikmatnya merasa dekat dengan Allah. Betapa nikmatnya keikhlasan dan kesabaran.(*)


Laporan Haji dan Umroh 




 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...