Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Wartawan dan Perang Irak

Bersama tentara Amerika Serikat di Kuwait. Tinggi benar dia.
Di perbatasan Jordania-Irak.


Maret 2003

Wartawan dan Perang Irak

Saya merampungkan ini pukul 10.30 malam (Sabtu, 22/3) di Amman, sambil menunggu Baghdad dibombarbir. Saya terkesan bukan cuma karena bomnya yang begitu dahsyat (tidak pernah ada dalam sejarah, kata Tommy Frank), melainkan karena kemampuan TV Arab (Al Jazeerah, Al Arabiya, Abu Dhabi TV) menyajikan gambar-gambar eksklusif langsung dari Baghdad. Ini memaksa TV Barat, Fox News dan BBC, misalnya, mengambil gambar hasil produksi wartawan Arab.

CNN agak sial dalam perang Irak kali ini. Kru televisi internasional itu diusir. Walhasil, TV-TV Arab mampu mempengaruhi opini dunia, paling tidak dari segi berita yang mewakili "sudut pandang" Arab.

Pada serangan "shock and wave" pertama Jumat malam, ketika anak-anak Irak seharusnya tertidur lelap, Al Jazeerah menampilkan gambar yang benar-benar eksklusif. Kabarnya, "CNN Arab" yang bermarkas di Doha, Qatar, ini memasang kamera di atas bangunan Kementerian Informasi.

Kantor itu hanya berjarak sekitar 500 meter dari istana utama Presiden Saddam Hussein. Lima enam kali bom dahsyat mengebor (maaf, bukan ngebor ala Inul) kantor pemimpin Irak tersebut. Langit Irak yang gelap tiba-tiba terang benderang karena bola api raksasa, yang menimbulkan dentuman amat keras. Begitu dekatnya obyek maut itu, kamera Al Jazeerah sampai bergoyang-goyang. Sesekali terdengar teriakan panik wartawan Al Jazeerah ketika bom-bom itu berdentum keras.

Liputan eksklusif Al Jazeerah selama hampir dua jam, tanpa narasi (karena gambar super istimewa itu telah menyajikan seribu cerita), itu tak dimiliki televisi lain. Dua atau tiga orang wartawan plus kameraman yang mengabadikan momen penting itu sungguh beruntung, dan nekat, karena ribuan wartawan yang meliput perang Irak tak mampu, atau tak berani, melakukannya.

Sebelum perang dimulai, lebih 1.000 wartawan asing seluruh kolong bumi beruntung bisa mendapatkan visa ke Baghdad. Sementara, menurut data di Kementerian Informasi Jordania, ada 300 wartawan asing yang "naas" dan terpaksa berpos sementara di Amman sambil menunggu visa ke Baghdad.

Ada yang menyogok pejabat kedutaan sampai 2.000 dolar AS untuk mendapatkan visa tersebut. Tapi juga gagal, karena Kementerian Informasi menerapkan seleksi yang benar-benar ketat sebelum memberikan rekomendasi ke kantor imigrasi.

Setelah perang dimulai, para wartawan asing "mengungsi" ke Amman. Menurut Mara, begitu wanita petugas Press Office dari Kementerian Informasi Jordania memberikan nama panggilannya, kini kota Amman yang kecil yang dipadati lebih 2.000 wartawan asing dari berbagai negara.

Dari Indonesia, ada sembilan wartawan, termasuk seorang wartawan PERSDA. Yang lainnya dari Jawa Pos, dua orang sekaligus dari Pikiran Rakyat, empat wartawan dan kameran SCTV dan Metro TV, dan barusan menyusul seorang wartawan Republika.

***

KERAJAAN Jordania, yang menggantungkan isi kas negara dari sektor parawisata, memperlakukan wartawan dengan amat profesional. Pemerintah membuka tiga Press Office di hotel bintang lima, tempat wartawan mendapatkan ID Card dan memohon ijin peliputan khusus (misalnya ke kawasan perbatasan yang dinyatakan sebagai zona militer).

Obyek liputan penting di Jordania adalah pengungsi. UNHCR dan Palang Merah Internasional membangun kamp pengungsi di atas gurun pasir yang sering dilanda badai gurun sekitar 60 km dari Karama Border, perbatasan Jordania-Irak.

Diperkirakan, sebanyak 1,5 juta pengungsi Irak akan mengalir ke Jordania, jutaan lainnya ke negara tetangga seperti Iran, Turki, Suriah, dan Arab Saudi. Bila arus pengungsi itu benar-benar terjadi, ini akan merupakan malapetaka terbesar kedua bangsa Arab, setelah jutaan warga Palestina mengungsi dari tanah airnya setelah bangsa Arab kalah perang melawan Israel tahun 1948 dan tahun 1967.

Pengungsi bukan cuma mobilitas. Tapi juga dendam. Setelah lebih satu abad bangsa Palestina terusir dari tanah airnya, warga Palestina sampai saat ini masih menyimpan perasaan permusuhan yang teramat dalam kepada Israel maupun Amerika, negara adidaya yang selalu memayungi kepentingan bangsa Yahudi. Lebih satu abad mendatang, perasaan kesumat itu juga akan ditularkan turun temurun kepada anak cucu bangsa Irak. Sungguh, Bush telah menanam pohon kebencian yang akan disaksikan pada generasi bangsa Irak sampai lebih setengah abad mendatang.

Di Ruweished, kota terakhir sebelum Karama Border, wartawan kesulitan meliput pengungsi. Pertama-tama karena di kota kecil ini berjarak sekitar 350 km dari Amman, sekitar empat jam bermobil melewati highway yang tidak pernah macet seperti jalan di Jakarta. Di sana tidak ada saluran telepon. Walhasil, pengiriman berita dan foto manual (melalui email, misalnya) sulit dilakukan.

Dan, ini dia hebatnya orang Jordania. Mereka memanfaatkan kesempatan perang ini untuk mengeruk dolar. Sebuah bangunan tua dua lantai disulap menjadi hotel. Ruangan mirip kontainer disulap menjadi pondok. Sebuah kamar ukuran 2x3, dilengkapi sebuah kasus dan selembar seliput, disewakan 80 dolar AS sehari, kurang lebih sama dengan tarif hotel bintang lima di Amman.

"Saya menyesal. Sudah membayar banyak, pengungsinya belum datang juga," kata seorang wartawan televisi Swiss, tinggi dan kurus dengan cambang yang tak pernah dicukur. Rambutnya acak-acakan.

Hotel kontainer itu tentu saja tak menyiapkan sarapan pagi, apalagi dinner. Maka, para wartawan asing harus berjalan kaki sekitar 300 meter ke sebuah "warung internasional" untuk menyantap ayam bakar atau kabab (sate Arab, daging yang ditumbuk, digulung, lalu dibakar). Mau tahu tarifnya? Wow, 3 Jordanian Dinar (hampir Rp 40 ribu) seperempat potong ayam dan sepiring besar nasi. Bonusnya secangkis syai (teh).

Disebut "warung internasional" karena satu-satunya rumah makan di kota perbatasan itu didatangi ribuan orang asing. Hal itu terlihat dari kartu nama yang tertempel di dinding: wartawan CNN, fotografer AP, para wartawan Eropa, dan juga kartu nama pejabat Pertamina. Di dinding itu pula sudah ditempeli kartu nama wartawan PERSDA. Wow!

Perang Irak telah menyulap kota sederhana ini menjadi kota internasional. Setiap hari, bule-bule, yang memakai kafayeh, lalu lalang. Wartawan televisi, khususnya, memasang pemancar khusus untuk memudahkan siaran langsung, sesuatu yang jarang disaksikan masyarakat sana, yang sebagian adalah suku Badui yang hidup dari gurun yang satu ke gurun yang lainnya.

***

PADA perang kali ini, setidaknya sampai hari ini, Al Jazeerah dan Al Arabiya menunjukkan keunggulan. Tak mau kalah dari wartawan TV Amerika atau Inggris, mereka mengerahkan puluhan wartawan ke berbagai pusat pemberitaan: Qatar, Kuwait, Jordania, Turki, dan Baghdad. Wartawan kedua stasiun itu termasuk dari sekian yang masih bertahan di Baghdad, bukan saja karena berani tapi karena tidak diusir rejim Saddam seperti nasib yang dialami CNN.

Al Jazeerah meraih kepercayaan penonton Arab, karena (sebelum Al Arabiya mengudara), dialah satu-satunya televisi Arab yang menyajikan gaya pemberitaan modern. Televisi-televisi Arab lainnya lebih banyak menghabiskan slot berita mereka untuk pidato pejabat, kunjungan pejabat, dan semua yang berbau pemerintah. Maklumlah dikendalikan langsung oleh pemerintah.

Sementara Al Jazeerah menayangkan berita yang lebih berani, misalnya tentang berita demonstrasi anti AS atau anti perang, sesuatu yang teramat sulit disaksikan di stasiun televisi Arab lainnya.

Dalam memberitakan perang Irak, Al Jazeerah seringkali mengambil angle yang berbeda dari televisi Barat. Dalam tayangannya Sabtu malam, misalnya, berkali-kali televisi independen itu menayangkan gambar-gambar korban ledakan bom, terutama anak-anak, saat Tommy Frank di Qatar mengatakan, serbuan ke Irak ditujukan kepada instalasi pemerintah untuk melumpuhkan rejim Saddam Hussein. Suatu kebohongan yang telanjang, setidaknya dari sudut padang Al Jazeerah dan bangsa Arab. Angle berita seperti itu bertolak belakang dengan televisi Barat, Fox News misalnya. Televisi Amerika ini berkali-kali menayangkan berita berbau propanda Amerika: tentara Irak yang menyerah, Saddam yang Hussein yang memiliki senjata pemusnah massal, dan kejahatan kemanusiaan rejim Irak. Tayangan korban perang sama sekali tidak mendapatkan porsi.

Perang memang tidak hanya terjadi di Irak, tapi juga di layar kaca dan halaman-halaman surat kabar. Seorang pengamat mengatakan, AS hampir pasti akan memenangkan pertempuran, tapi tidak akan pernah memenangkan peperangan. Sebab, perasaan kemanusiaan penghuni kolong langit ini sulit dikalahkan hanya dengan Tomahawk dan pesawat tempur super canggih.
(Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania).

* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...